Kamis, Juli 31, 2008

Matinya Sang Jenderal - Kilas Balik G30S/PKI

Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.

Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah.

Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.

Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama:
pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu;
identifikasi atas mayat;
deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;
uraian rinci tentang luka-luka;
kesimpulan tentang waktu dan penyebab kematian;
pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu,
bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana mestinya.

Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar-suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.

Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah “ditidurkan” sementara para dokter masih menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka tentang hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai “perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan”. Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan bekas-bekas penyiksaan. “Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita.” Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan, “jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan ‘Gerakan 30 September’”. Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai “penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya.” Bukti-bukti tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa “anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna lagi”. Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa “matanya (Yani) dicungkil”. Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam.

Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan “deru mesinnya yang seperti harimau haus darah”. Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.

Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh “penteror-penteror biadab”, namun ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya “dicungkil”. Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya “ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan.” Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda “permainan jahat” perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai “bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani.”

Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa “alat pencungkil” yang digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin, anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa “di luar batas kesusilaan” oleh anggota-anggota Gerwani. Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada cerita menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. (”Dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet… menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan “Tarian Bunga Harum” di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.

Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November dan Desember ini — sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan — terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan. Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang mengerikan — khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan adalah orang-orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan komunis.

Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para kurban yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.

Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan telah dibunuh dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, serta Letnan Tendean.

Golongan I. Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28 November. Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah dibunuh dengan mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel Arief.

Gambaran demikian hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensil. Para ahli forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembuk masuk dan tiga tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang dialami Harjono timbul tanda tanya, karena tidak disebut-sebut sebagai akibat tembakan. Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan “pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul.” Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan — jarang penyiksa memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka — dan luka itu barangkali karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.

Golongan II. Cerita lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam suratkabar-suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha serta Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang inilah berita-berita tentang siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik adalah sebagai berikut:

S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di samping itu, “robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras — popor bedil atau dinding dan lantai sumur — tetapi jelas bukan luka-luka “siksaan”, juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat.

Soeprapto mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu “akibat benda tumpul” yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan atas”; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. Sekali lagi “benda tumpul” mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu sumur), dan bukannya silet atau pisau,

Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang “tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras”. Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur.

Tendean mati akibat empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores pada dahi dan tangan kiri, demikian juga “tiga luka akibat trauma pejal pada kepala.”

Tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja karena hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat dari benda pejal dan keras, tetapi karena pembagiannya secara jasmaniah pun “pergelan gan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain-lain — pada umumnya tampak sembarangan. Adalah sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan lidah tidak disebut-sebut. Maka dengan cukup meyakinkan bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban-korban itu mati oleh tembakan senjata api (perihal Harjono yang mati di dalam rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain adalah akibat pemukulan dengan gagang bedil yang mematahkan peluru-peluru mematikan itu, atau cedera yang mungkin diakibatkan karena jatuh dari ketinggian 36 kaki — yaitu kira-kira tiga tingkat lantai — ke dalam sumur yang berdinding batu.

Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang telah membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-dokter yang telah memeriksa mayat para kurban menyatakan, tentang tidak adanya perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965). Ditulis Oleh Ben Anderson

Kamis, Juli 03, 2008

Valentine Day History

Di berbagai belahan dunia, orang beramai-ramai mengamini bahwa tanggal 14 Februari adalah hari Velentine. Di Indonesia pun, para warganya turut menyambut gembira datangnya hari kasih sayang ini, meskipun sebenarnya mereka tak tahu pasti mengapa harus ikut merayakan hari tersebut.

Bukankah untuk menunjukkan rasa sayang kita terhadap teman, kekasih ataupun keluarga kita tak perlu menunggu datangnya tanggal 14 Februari, kita bisa menunjukkannya setiap hari. Kita juga tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli coklat, bunga dan pernak-pernik lainnya untuk menunjukkan rasa sayang kita, cukup dengan perhatian yang tulus.

Terlepas dari itu semua, marilah kita kupas secara detail keistimewaan hari Valentine yang kedatangannya selalu membuat dunia menjadi serba merah muda. Beberapa para ahli mengatakan bahwa asal mula Valentine itu berkaitan dengan St. Valentine. Ia adalah seorang pria Roma yang menolak melepaskan agama Kristen yang diyakininya.

Ia meninggal pada 14 Februari 269 Masehi, bertepatan dengan hari yang dipilih sebagai pelaksaan 'undian cinta'. Legenda juga mengatakan bahwa St. Valentine sempat meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada putri seorang narapidana yang bersahabat dengannya. Di akhir pesan itu, ia menuliskan : "Dari Valentinemu".

Sementara itu sebuah cerita lain mengatakan bahwa Saint Valentine adalah seorang pria yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan di sebuah kuil pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Ia dipenjarakan atas kelancangannya membantah titah sang kaisar. Baru pada tahun 496 Masehi, pendeta Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai hari penghormatan bagi Valentine.

Akhirnya secara bertahap 14 Februari menjadi hari khusus untuk bertukar surat cinta dan St. Valentine menjadi idola para pecinta. Datangnya tanggal itu ditandai dengan pengiriman puisi cinta dan hadiah sederhana, semisal bunga. Sering juga untuk merayakan hari kasih sayang ini dilakukan acara pertemuan besar atau bahkan permainan bola.

Di AS, Miss Esther Howland tercatat sebagai orang pertama yang mengirimkan kartu valentine pertama. Acara Valentine mulai dirayakan besar-besaran semenjak tahun 1800 dan pada perkembangannya, kini acara ini menjadi sebuah ajang bisnis yang menguntungkan.

Perlahan semarak hari kasih sayang ini merebak keluar dan menular pada masyarakat di seluruh dunia dibumbui dengan versi sentimentak tentang makna valentine itu sendiri. Bahkan anak-anak kecil pun tertular dengan wabah ini, mereka saling berkirim kartu dengan teman-temannya di sekolah untuk menunjukkan rasa sayang mereka.

Sejarah Hari Valentine
Asal mula hari Valentine tercipta pada jaman kerajaan Romawi. Menurut adat Romawi, 14 Februari adalah hari untuk menghormati Juno. Ia adalah ratu para dewa dewi Romawi. Rakyat Romawi juga menyebutnya sebagai dewi pernikahan. Di hari berikutnya, 15 Februari dimulailah perayaan 'Feast of Lupercalia.'

Pada masa itu, kehidupan belum seperti sekarang ini, para gadis dilarang berhubungan dengan para pria. Pada malam menjelang festival Lupercalia berlangsung, nama-nama para gadis ditulis di selembar kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam gelas kaca. Nantinya para pria harus mengambil satu kertas yang berisikan nama seorang gadis yang akan menjadi teman kencannya di festival itu.

Tak jarang pasangan ini akhirnya saling jatuh cinta satu sama lain, berpacaran selama beberapa tahun sebelum akhirnya menikah. Dibawah pemerintahan Kaisar Claudius II, Romawi terlibat dalam peperangan. Claudius yang dijuluki si kaisar kejam kesulitan merekrut pemuda untuk memperkuat armada perangnya.

Ia yakin bahwa para pria Romawi enggan masuk tentara karena berat meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Akhirnya ia memerintahkan untuk membatalkan semua pernikahan dan pertunangan di Romawi. Saint Valentine yang saat itu menjadi pendeta terkenal di Romawi menolak perintah ini.

Ia bersama Saint Marius secara sembunyi-sembunyi menikahkan para pasangan yang sedang jatuh cinta. Namun aksi mereka diketahui sang kaisar yang segera memerintahkan pengawalnya untuk menyeret dan memenggal pendeta baik hati tersebut.

Ia meninggal tepat pada hari keempat belas di bulan Februari pada tahun 270 Masehi. Saat itu rakyat Romawi telah mengenal Februari sebagai festival Lupercalia, tradisi untuk memuja para dewa. Dalam tradisi ini para pria diperbolehkan memilih gadis untuk pasangan sehari.

Dan karena Lupercalia mulai pada pertengahan bulan Februari, para pastor memilih nama Hari Santo Valentinus untuk menggantikan nama perayaan itu. Sejak itu mulailah para pria memilih gadis yang diinginkannya bertepatan pada hari Valentine.

Kisah St. Valentine
Valentine adalah seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ketiga. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut, dan ia bukan satu-satunya. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.

Namun sayangnya keinginan ini bertepuk sebelah tangan. Para pria enggan terlibat dalam perang. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Hal ini membuat Claudius sangat marah, ia pun segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Ia berfikir bahwa jika pria tak menikah, mereka akan dengan sennag hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Para pasangan muda menganggap keputusan ini sangat tidak manusiawi. Karena menganggap ini adalah ide aneh, St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.

Ia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini diketahui kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tak bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin, tanpa bunga, tanpa kidung pernikahan.

Hingga suatu malam, ia tertangkap basah memberkati sebuah pasangan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis mati. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara.

Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta itu adalah putri penjaga penjara. Sang ayah mengijinkannya untuk mengunjungi St. Valentine di penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta itu. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar.

Di hari saat ia dipenggal,14 Februari, ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis itu atas semua perhatian, dukungan dan bantuannya selama ia dipenjara. Diakhir pesan itu, ia menuliskan : "Dengan Cinta dari Valentinemu."

Pesan itulah yang kemudian merubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.

Tradisi Valentine
-- Selama beberapa tahun di Inggris, banyak anak kecil di dandani layaknya anak dewasa pada hari Valentine. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah sambil bernyanyi.

-- Di Wales, para pemuda akan menghadiahkan sendok kayu pada kekasihnya pada hari kasih sayang itu. Bentuk hati dan kunci adalah hiasan paling favorit untuk diukir di atas sendok kayu tersebut.

-- Pada jaman Romawi kuno, para gadis menuliskan namanya di kertas dan memasukkan ke dalam botol. lalu para pria akan mengambil sah satu kertas tersebut untuk melihat siapakan yang akan menjadi pasangan mereka dalam festifal tersebut.

-- Di Negara yang sama, para gadis akan menerima hadiah berupa busana dari para pria. Jika ia menerima hadiah tersebut, ini pertanda ia bersedia dinikahi pria tersebut.

-- Beberapa orang meyakini bahwa jika mereka melihat robin melayang di udara saat hari Valentine, ini berarti ia akan menikah dengan seorang pelaut. Sementara jika seorang wanita melihat burung pipit, maka mereka akan menikah dengan seorang pria miskin. Namun mereka akan hidup bahagia. Sementara jika mereka melihat burung gereja maka mereka akan menikah dengan jutawan.

-- Sebuah kursi cinta adalah kursi yang lebar. Awalnya kursi ini dibuat untuk tempat duduk seorang wanita (jaman dahulu wanita mengenakan busana yang sangat lebar). Belakangan kursi cinta dibuat untuk tempat duduk dua orang. dengan cara ini sepasang kekasih bisa duduk berdampingan.

-- Pikirkan lima atau enam nama pria (jika anda wanita) atau lima atau enam nama wanita (jika anda pria) yang ingin anda nikahi. Lalu putralah setangkai apel sambil menyebut nama tersebut satu persatu. Anda akan menikah dengan nama yang anda sebut saat tangkai tersebut lepas dari buahnya.

-- Petiklah sekuntum bungan dandelion yang tengah mengembang. Tiuplah putik-putik pada bunga tersebut, lalu hitunglah putik yang tersisa. Itu adalah jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah.

-- Jika anda memotong sebuah apel pada tengahnya dan menghitung jumlah biji di dalamnya, ini juga bisa menunjukkan jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah.

Selasa, Mei 06, 2008

Kenaikan Yesus, Solidaritas Sosial dan Spiritual Power


Ditulis oleh : Christian Wijaya, Alumnus Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Media Indonesia 30 April 2008

KENANGAN atas penderitaan Yesus di kayu salib, mengundang kita untuk melihat realitas makna salib di Indonesia. Fenomena kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya di Tanah Air-–baik secara langsung atau tak langsung-–telah memperburuk kondisi sosial dan kemanusiaan kita. Semua itu sesungguhnya bermakna sebagai antrean panjang para korban bencana kemanusiaan yang sedang menunggu untaian solidaritas sosial.

Namun, di pihak lain, elite kekuasaan kita justru sibuk saling tuding terhadap lawan politik sebagai tukang tebar pesona atau janji kepada para korban bencana kemanusiaan itu. Para korban bencana kemanusiaan sering dijadikan sebagai objek politik, sedangkan penderitaan mereka dijadikan sebagai objek bagi politikus untuk mengangkat popularitas di depan publik. Subjek tebar pesona adalah politikus, sedangkan subjek sejati solidaritas sosial adalah masyarakat korban. Pilatus dan para pemimpin agama pada masa itu memilih eros politik, sedangkan Yesus memilih etos solidaritas sosial.

Solidaritas Sosial

Kenangan atas penderitaan Yesus di kayu salib seharusnya mengundang setiap elite kekuasaan untuk mengubah eros politik menjadi spiritualitas politik. Dalam perspektif iman, penderitaan selalu memiliki 'blessing in disguise'. John Gray, seorang penulis ternama Inggris pernah menulis, "Semua penderitaan merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh."

Sering dalam perjumpaan dengan orang-orang seiman, penulis bertemu orang yang bermental kuat seperti Victor Frankl. Frankl adalah seorang psikolog berdarah Yahudi. Suatu ketika Frankl disekap dalam kamp konsentrasi maut Nazi, tempat dia mengalami penderitaan lahir-batin akibat penyiksaan di luar batas-batas kemanusiaan.

Meskipun demikian, di tengah penderitaan yang tidak terperikan itu, Frankl ternyata masih selalu bisa menimba surga kegembiraan berkat imannya kepada Tuhan. Iman (dalam kepercayaan/agama apa pun) juga adalah termasuk kemampuan untuk bisa melihat harapan di tengah situasi-kondisi yang 'tanpa pengharapan'.

Kenaikan Yesus Kristus ke surga, mungkin lebih tepat jika disebut Yesus kembali ke surga karena memang dari sanalah Dia semula berasal. Dia turun ke dunia untuk memperlihatkan kasih Allah dan bagaimana nilai-nilai surgawi harus dihayati dalam kehidupan dunia ini.

Karena itu, peringatan Yesus kembali ke surga kali ini seyogianya dijadikan sebagai momentum untuk menyadari pesan suci Dia bahwa dalam situasi-kondisi apa pun di dunia, kita harus tetap bisa mengupayakan dan menghadirkan nilai-nilai surgawi seperti cinta-kasih, perdamaian, pengampunan, ketabahan, dan solidaritas sosial dan kemanusiaan bagi mereka yang tengah menderita.

Betapa pun besar rintangannya, solidaritas sosial dan kemanusiaan harus tetap kita perjuangkan, khususnya dalam menghadapi berbagai krisis di Indonesia. Ini merupakan suatu perjuangan heroik yang belum selesai, namun sayangnya rasa kebersamaan kita masih terpuruk.

Padahal, kita tengah menghadapi realitas tingginya angka kemiskinan di Tanah Air, baik masyarakat yang masih di lingkaran kemiskinan maupun di bawah garis kemiskinan, dengan berbagai dampak buruknya. Sebagian lagi memang hidup di atas garis kemiskinan atau bahkan berada dalam strata kehidupan yang berkecukupan, namun tidak pernah atau kurang peduli untuk berbagi rasa dan membantu rakyat kecil yang serbakekurangan.

Dalam doktrin Kristen ditetapkan bahwa salib Yesus merupakan simbol antara keadilan dan kasih Allah. Artinya, semua pengikut Kristen wajib memerhatikan sesama manusia dan memperlakukan setiap orang tanpa pandang bulu, secara adil. Namun dalam tataran praktik, perjuangan akan hak seolah-olah menjadi segala-galanya, sehingga sering melupakan kewajiban. Misalnya kewajiban untuk menghormati hak orang lain dan kewajiban untuk memerhatikan kepentingan bersama.

Yesus melalui jalan salib telah mewujudkan kasih Allah, yaitu berjiwa besar untuk mengampuni manusia dengan mengambil alih hukuman yang seharusnya ditimpakan kepada manusia. Dia selalu rela mengorbankan diri-Nya untuk kepentingan sesama, yaitu semua manusia berdosa. Masalahnya, bagaimana umat Kristen memahami perannya itu di tengah-tengah masyarakat pada masa kini yang dilanda krisis hati nurani, moral dan kepentingan bersama?

Tuntutan atas hak setiap orang yang populer sebagai hak asasi manusia (HAM) sangat menonjol akhir-akhir ini. Kita melihat demonstrasi marak di mana-mana sebagai ungkapan/wujud perjuangan HAM yang didasarkan atas tuntutan keadilan. Namun dalam realitas, dibandingkan dengan kewajiban, keadaannya sering tidak seimbang.

Spiritual power

Keikhlasan Yesus dalam berkorban untuk solidaritas sosial dan kemanusiaan telah mengangkat Dia kembali ke surga. Hal itu timbul dari kekuatan spiritual (spiritual power). Spiritual power (SP) yang bisa dibangkitkan dari dalam diri setiap individu ini merupakan suatu kesadaran riil. Kesadaran bahwa diri kita memiliki sesuatu yang dapat diberikan untuk kepentingan komunitas yang lebih luas.

SP membangkitkan kesadaran riil bagi individu berjiwa besar, dan mengalir menjadi kesadaran potensial. Bukan hanya bisa tumbuh pada diri seorang anak kecil yang rela berbagi dan memberikan apa yang dimiliki untuk suatu komunitas umat manusia, tetapi juga akan mendorong semakin banyak orang yang mau membagi potensinya dengan target sasaran yang jelas.

Ini merupakan suatu akumulasi dari seluruh potensi yang dapat didayagunakan untuk memperbaiki/ meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas tanpa memandang perbedaan agama, kesukuan, bangsa, kewarganegaraan, partai, dan golongan. Akumulasi potensi tersebut akan mendorong setiap orang untuk bersinergi, saling mengisi dan melengkapi dalam mengupayakan pembangunan kualitas kehidupan sosial dan kemanusiaan yang lebih baik.

Kebangkitan SP akan mengikis habis sikap mental ketergantungan yang hanya mau menerima sesuatu untuk dirinya sendiri tetapi tanpa mau memberi kepada orang lain. Buanglah mentalitas egois yang mendominasi diri kita. Saatnya kini kita harus segera membasmi mentalitas diri yang kerdil, minoritas, dan merasa tidak bisa berbuat banyak bagi kepentingan sesama secara universal. Selama mentalitas itu bercokol di hati para pemimpin, masyarakat yang dipimpin sulit untuk maju.

Kini kita membutuhkan para pemimpin yang mampu membangkitkan SP, karena kehadiran mereka di setiap lini kehidupan akan mendorong adanya kemajuan sosial dan kemanusiaan sesuai dengan spirit kenaikan Yesus Kristus.

Terutama di tengah mentalitas para pemimpin, kondisi bangsa dan rakyat yang sedang terpuruk. Dalam keterbatasan dana/sumber daya yang ada, spirit kenaikan Yesus dan pengorbanan-Nya diharapkan akan mampu membuat mentalitas mereka pantang menyerah dalam mengangkat harkat, martabat, dan nasib rakyat kecil tanpa bergantung pada uluran tangan dengan motif-motif kepentingan yang sempit.

Minggu, Mei 04, 2008

Good Governance

Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat.

Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.

Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.

Prinsip-prinsip Good Governance

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:

1. Partisipasi Masyarakat

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Tegaknya Supremasi Hukum

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3. Transparansi

Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

4. Peduli pada Stakeholder

Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

5. Berorientasi pada Konsensus

Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

6. Kesetaraan

Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

7. Efektifitas dan Efisiensi

Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi Strategis

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

Pilar-pilar Good Governance

Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut :

1. Negara

a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil
b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan
c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable
d. Menegakkan HAM
e. Melindungi lingkungan hidup
f. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik

2. Sektor Swasta

a. Menjalankan industri
b. Menciptakan lapangan kerja

c. Menyediakan insentif bagi karyawan

d. Meningkatkan standar hidup masyarakat
e. Memelihara lingkungan hidup
f. Menaati peraturan
g. Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat
h. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

3. Masyarakat Madani

a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi
b. Mempengaruhi kebijakan publik
c. Sebagai sarana cheks and balances pemerintah
d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
e. Mengembangkan SDM
f. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

Agenda Good Governance

Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi:

1. Agenda Politik

Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti:

a. Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.

b. Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat.

c. Reformasi agraria dan perburuhan

d. Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI

e. Penegakan supremasi hukum

2. Agenda Ekonomi

Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Untuk kasus Indonesia, permasalahan krisis ekonomi ini telah berlarut-larut dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Kondisi demikian ini tidak boleh dibiarkan berlanjut dan harus segera ada percepatan pemulihan ekonomi. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:

a. Agenda Ekonomi Teknis

Otonomi Daerah. Pemerintah dan rakyat Indonesia telah membuat keputusan politik untuk menjalankan otonomi daerah yang esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan kewenangan yang optimal dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk strategi, kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan daerah.

Sektor Keuangan dan Perbankan. Permasalahan terbesar sektor keuangan saat ini adalah melakukan segala upaya untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai intermediasi,serta upaya mempercepat kerja BPPN. Hal penting yang harus dilakukan antara lain pertama; tidak adanya dikhotomi antara bankir nasional dan bankir asing, lebih diperlukan kinerja yang tinggi, tidak peduli apakah hal itu dihasilkan oleh bankir nasional ataupun asing. Kedua, perlu lebih mendorong dilakukannya merger atau akuisisi, baik di bank BUMN maupun swasta. Ketiga, pencabutan blanket guarantee perlu dipercepat, namun dilakukan secara bertahap. Keempat, mendorong pasar modal dan mendorong independensi pengawasan (Bapepam). Kelima, perlunya penegasan komitmen pemerintah dalam hal kinerja BPPN khususnya dalam pelepasan aset dalam waktu cepat atau sebaliknya.

Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat. Pemulihan ekonomi harus betul-betul dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Hal ini praktis menjadi prasarat mutlak untuk membantu penguatan legitimasi pemerintah, yang pada giliranya merupakan bekal berharga bagi percepatan proses pembaharuan yang komprehensif menuju Indonesia baru.

b. Agenda Pengembalian Kepercayaan

Hal-hal yang diperlukan untuk mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat, penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang kuat.

3. Agenda Sosial

Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.

Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi.

Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang disertai kekejaman sosial luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah sampai pada titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan komunal dan keterbuangan sosial dengan segala variannya. Kasus-kasus seperti pergolakan di Aceh dan Ambon adalah beberapa contoh dari masalah sosial yang harus segera mendapatkan solusi yang memadai.

Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian _vertikal maupun horizontal_ yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.

4. Agenda Hukum

Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.

Sementara itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan. Kenyataan demikian ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.

Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan good governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis. Langkah-langkah tersebut adalah:

a. Reformasi Konstitusi Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata penyelenggaran negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.

b. Penegakan Hukum Syarat mutlak pemulihan pepercayaan rakyat terhadap hukum adalah penegakan hukum. Reformasi di bidang penegakkan hukum yang bersifat strategis dan mendesak untuk dilakukan adalah; pertama, reformasi Mahkamah Agung dengan memperbaiki sistim rekrutmen (pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan yang lebh menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Perbaikan sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh Komisi Yudisial Independen yang anggotanya terdiri dari mantan hakim agung, kalangan prakatisi hukum, akademisi/cendekiawan hukum dan tokoh masyarakat. Kedua, reformasi Kejaksaan. Untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat ini khususnya dalam menangani kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung dan pembantunya sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadai yang bersangkutan. Selain itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen Pengawas Kejaksaan.

c. Pemberantasan KKN KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai.

Sedangkan upaya penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan Independen Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, memperkenalkan hakim-hakim khusus yang diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hock) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh.

d. Sumbangan Hukum dalam Mencegah dan Menanggulangi Disintegrasi Bangsa Pengakuan identitas terhadap nilai-nilai lokal, pemberian kewenangan dan representasi yang lebih luas kepada daerah, pemberdayaan kemampuan masyarakat dan akses pengelolaan terhadap sumber daya alam lokal menjadi isu penting yang sangat stategis di dalam menciptakan integritas sosial, karena selama lebih dari tiga dekade masyarakat selalu ditempatkan sebagai obyek, tidak diakui berbagai eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi dari permasalahan tersebut akhirnya menciptakan potensi yang sangat signifikan bagi proses disintegrasi.

e. Pengakuan Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat Untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di lingkungan dan milik mereka sendiri.

f. Pemberdayaan Eksekutif, Legislatif dan Peradilan Untuk lebih meningkatkan representasi kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu dilakukan rekomposisi keanggotaan utusan daerah, di mana keterwakilan rakyat di daerah secara kongkret diakomodasi melalui pemilihan anggota utusan daerah secara langsung oleh rakyat. Sistim pemilihan langsung juga dilakukan untuk para pejabat publik di daerah khususnya gubernur, bupati/walikota.

Penerapan penegak hukum harus dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan ‘selektive enforcement’ sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Sumber URL : http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=GoodGovernance&op=detail_artikel&id=4

Kamis, Mei 01, 2008

Elite Neopatrimonial

Oleh : Irsyad Zamjani (Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sosiologi UI)

Salah satu isu penting yang selalu muncul dalam hubungan antara elite dan massa adalah loyalitas. Era pascareformasi menunjukkan betapa loyalitas massa kepada para pemimpin mereka terjadi begitu massif dan menyebar.

Dalam sejarah berdirinya republik, boleh dibilang fenomena ini lebih unik dibandingkan saat revolusi atau saat meletusnya sejumlah gerakan separatisme sekalipun. Dulu, massa digerakkan elite karena adanya ide dan cita-cita yang ideal; kemerdekaan atau harapan akan sosok ratu adil (Kartodirjo, 1997), misalnya. Orang mengikuti Soekarno karena menaruh harapan besar akan terselenggaranya kemerdekaan. Orang mengikuti gerakan Kartosuwirjo karena ”tersihir” oleh cita-cita negara Islam.

Akhir 1950-an, orang mengikuti pemimpin yang berkonflik karena alasan ideologis. Pada paruh akhir 1960-an, massa mahasiswa mendukung Soeharto karena keyakinan bahwa sosok ini akan membebaskan negeri dari krisis. Sekarang rasanya tidak demikian. Kita sering menemukan loyalitas massa kepada sosok tertentu di manamana, tapi kita tidak pernah menemukan alasan mengapa loyalitas itu terjadi dan diungkapkan sedemikian ekspresif.

Fenomena itu terutama berkembang saat pemilihan kepala daerah langsung mulai digelar pada 2005. Di Tuban, massa dari calon kepala daerah yang kalah mengamuk dan merusak sejumlah bangunan.Yang mutakhir, misalnya, terjadi di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Gorontalo, atau Jawa Barat.Terjadi pertikaian antarpendukung calon. Masingmasing tidak terima jika jagonya dikalahkan oleh yang lain.

Yang menarik, loyalitas massa tersebut tidak selalu berdasarkan afiliasi organisasi politik tertentu, tidak juga terhadap muasal etnisitas.Para pendukung Syahrul Yasin di Sulawesi Selatan, misalnya, bukan hanya kader PDIP, partai yang mengusungnya,tapi juga kader Golkar, partainya sendiri sekaligus partai pengusung pesaingnya.

Mereka bukan hanya Suku Makassar yang menjadi afiliasi etnis Syahrul, tapi juga Suku Bugis yang merupakan suku pesaingnya. Orang barangkali akan menemukan kerumitan lain saat Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur digelar bulan Juli kelak. Tiga orang petinggi NU sekaligus bersaing dalam pemilihan kepala daerah melalui partai ”non- NU”. Nah, kalau di kemudian hari terjadi konflik, tentulah itu konflik antarorang NU sendiri.

Neopatrimonialisasi

Dalam hal ikatan yang bersifat patron-kliental dalam sebuah relasi, kaum akademisi menyebutnya patrimonialisme. Dalam sistem tradisional, elite patrimonial merupakan suatu kelas istimewa yang, karena status sosial mereka,menguasai sumber daya politik dan ekonomi. Mereka membatasi akses massa pada kekuasaan dan kekayaan.

Menurut Gunther (1960), patrimonialisme menganut hukum pertukaran, tapi pertukaran yang terjadi antara patron dan klien umumnya bersifat idealis. Kewajiban klien untuk memberikan loyalitas dan penghormatan kepada patron akan dibalas dengan jaminan perlindungan dan rasa aman.

Seiring runtuhnya sistem tradisional, patrimonialisme tampaknya tetap dirawat. Tapi menurut kajian Brown (1994), pola pertukarannya yang mesti diubah. Jaminan pemimpin akan perlindungan dan rasa aman harus dilengkapi dengan jaminan sumber daya material. Sebaliknya,jaminan loyalitas dari para pengikut harus dilengkapi dengan mobilisasi dukungan politik secara aktif. Inilah yang disebutnya sebagai neopatrimonialisme.

Ini pula yang terjadi di masa Orde Baru (Anderson, 1991). Namun, saat itu elite neopatrimonial memusat hanya pada satu figur Soeharto. Kliennya adalah birokrat, tentara, juga para pengusaha. Soeharto tidak hanya mengayomi, tapi juga memberi kesejahteraan dan jalan pada kekayaan. Sebaliknya para klien tidak hanya loyal, tapi secara aktif memobilisasi kekuatan untuk menopang kekuasaan sang patron.

Saat Orde Baru tumbang, neopatrimonialisme Soeharto juga berakhir. Tapi, tradisi ini justru berkem bang dan menyebar. Saya ingin menyebut proses penyebaran itu sebagai neopatri monialisasi dan fenomena yang kita bahas di muka adalah salah satu bentuknya. Karakternya sama, tapi modusnya berubah. Dengan desentralisasi kekuasaan negara, para elite sekarang ingin menjadikan diri mereka sebagai patronpatron baru.Membangun rezim-rezim baru.

Caranya, mengikat sebanyak mungkin orang untuk jadi pengikut yang akan loyal dan berjuang untuk mereka. Media pengikat utamanya adalah materi. Gelaran ”pesta demokrasi”adalah momentum kontestasi elite neopatrimonial. Saat itu mereka seolah menjadi sosok sinterklas. Menebar uang ke sana-sini, memberi janji kemakmuran kepada setiap orang, dan menghasut untuk membenci para pesaing.

Para pengikut yang ”loyal” dengan seluruh jiwa dan raga akan membela mereka. Tapi, neopatri monialisme selalu mengandaikan tegangan antara kohesivitas dan faksionalisme elite. Di satu sisi, terjadi persaingan antarelite karena perebutan sumber daya politik dan ekonomi. Pada saat itu, kaum elite mengalami faksionalisasi yang, pada gilirannya, juga berdampak pada perpecahan di tingkat massa.

Di sisi lain, kaum elite adalah anggota kelas atas yang memiliki kepentingan sama, terutama, dalam mempertahankan segenap privilese mereka. Dalam kaitan ini, mereka akan melakukan kompromi dan dengan mudah melupakan persaingan masa lalu. Sementara itu, massa yang sudah terpecah secara komunal tidak mudah disatukan kembali.(*) Koran Sindo Edisi 29 April 2008

Partai Hanura



01. Sejarah Pendirian Partai

  • Pendirian Partai HANURA dirintis oleh Wiranto bersama tokoh-tokoh nasional yang menggelar pertemuan di Jakarta pada tanggal 13-14 November 2006.
  • Forum tersebut melahirkan delapan kesepakatan penting sebagai berikut.
    1. Dengan memperhatikan kondisi lingkungan global, regional, dan nasional, serta kinerja pemerintahan RI selama ini, mengisyaratkan bahwa sejatinya Indonesia belum berhasil mewujudkan apa yang diamanatkan UUD 1945.
    2. Memperhatikan kinerja pemerintahan sekarang ini maka kemungkinan tiga tahun yang akan datang akan sulit diharapkan adanya perubahan yang cukup signifikan, menyangkut perbaikan nasib bangsa.
    3. Oleh sebab itu perjuangan untuk mewujudkan terjadinya sirkulasi kepemimpinan nasional dan pemerintahan bukan lagi untuk memenuhi ambisi perorangan atau kelompok, namun merupakan perjuangan bersama untuk menyelamatkan masa depan bangsa.
    4. Perjuangan itu membutuhkan keberanian untuk menyusun strategi jangka panjang pada keseluruhan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara guna mengembalikan kemandirian dan kebanggaan kita sebagai bangsa.
    5. Untuk itu diperlukan kepemimpimpinan yang jujur, bijak, dan berani yang dapat menggalang persatuan, kebersamaan, dan keikhlasan, sebagaimana dahulu para pendahulu kita 'berhimpun bersama sebagai bangsa untuk mencapai kemerdekaan'. Sekarang saatnya kita berhimpun kembali sebagai bangsa guna menyelamatkan negeri kita.
    6. Kita kembangkan semangat perjuangan, 'Semua untuk satu, satu untuk semua'. Artinya, semua harus memberikan yang terbaik untuk satu tujuan bersama, yakni membentuk pemerintahan yang jujur dan berkualitas. Selanjutnya, pemerintahan itu benar-benar akan bekerja semata-mata untuk kepentingan rakyat Indonesia.
    7. Perjuangan itu akan kita wadahi dalam sebuah partai politik.
    8. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati dan melindungi perjuangan yang tulus dan ikhlas ini demi masa depan Indonesia yang kita cintai bersama.
  • Delapan kesepakatan itu kemudian ditindaklanjuti dalam wadah partai politik bernama Partai Hati Nurani Rakyat, disingkat Partai HANURA. Pendeklarasian partai ini diselenggarakan pada tanggal 21 Desember 2006 di Jakarta.
  • Komposisi dewan pendiri Partai HANURA di antaranya adalah: Jend. TNI (Purn) Wiranto, Yus Usman Sumanegara, Dr. Fuad Bawazier, Dr. Tuti Alawiyah AS., Jend. TNI (Purn) Fachrul Razi, Laks TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, Prof. Dr. Achmad Sutarmadi, Prof. Dr. Max Wullur, Prof. Dr. Azzam Sam Yasin, Jend. TNI (Purn) Subagyo HS., Jend. Pol (Purn) Chaeruddin Ismail, Samuel Koto, LetJen. TNI (Purn) Suaidi Marasabessy, Marsdya TNI (Purn) Budhy Santoso, Djafar Badjeber, Uga Usman Wiranto, Letjen. TNI (Purn) Ary Mardjono, Elza Syarief, Nicolaus Daryanto, Anwar Fuadi, Dr. Teguh Samudra dan lain-lain.

02. Mengapa Partai HANURA Harus Didirikan?
Partai HANURA harus didirikan untuk:

  • Menjawab kepedulian dan kecintaan yang mendalam terhadap nasib negara dan bangsa.
  • Menjamin kepastian masa depan bangsa Indonesia yang saat ini tidak jelas arahnya.
  • Merekonstruksi model kepemimpinan masa depan yang lebih memahami hati nurani rakyat, serta memiliki sifat-sifat jujur, tegas, berani, dan berkemampuan.
  • Mewujudkan semangat sebagaimana yang ditempuh para pendahulu kita, berhimpun bersama untuk menyelamatkan bangsa.
  • Merespons persoalan bangsa yang terlalu kompleks dibutuhkan solusi strategis, yaitu berpolitik dengan hati nurani untuk memperjuangkan kebenaran.
  • Membangun kekuatan politik yang tidak berorientasi pada kekuasaan semata, namun dengan spirit ke-Tuhanan guna kemaslahatan/kebaikan.

03. Apa yang dimaksud dengan Hati Nurani?

  • Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, Sinar Harapan, 2001) kata 'hati nurani' diartikan perasaan yang dalam, batin.
  • Islam mengenal kata bashirah untuk menyebut hati nurani, yang berarti pandangan mata batin. Sesungguhnya, di dalam hal yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki mata hati (bashirah). (QS. Ali Imran: 13) Bashirah selalu konsisten kepada kebenaran dan kejujuran.
  • Dokumen Konsili Vatikan II, GS 16 mencatat, hati nurani merupakan petunjuk dan keputusan akhir dalam interaksinya dengan akal budi manusia dalam berhadapan dengan dirinya, orang lain, dan Tuhannya. Di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya.
  • Dalam Perjanjian Baru, Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (Kol 3:23) Di samping taat kepada hukum Allah, manusia juga perlu harmonisasi dalam hati nurani.
  • Etika Kebuddhaan adalah etika nurani. Melaksanakan Etika Kebuddhaan artinya membangun kebiasaan untuk berhati nurani.
  • Pemujaan Sang Hyang Atma sebagai Batara Hyang Guru dalam agama Hindu adalah pemujaan Guru yang ada dalam diri. Suara Sang Hyang Atma itu tiada lain adalah suara hati nurani. Orang yang gelap hati nuraninya cenderung berbuat yang makin menutup sinar suci Tuhan.
  • Di dalam kitab Su Si agama Kong Hu Cu mengatakan, berbuat sesuai dengan Hati Nurani itulah Tao, sedangkan bimbingan untuk hidup menempuh jalan sesuai hati nurani itulah agama. Manusia yang tidak mengenal hati nuraninya maka ia tidak mengenal Tuhan.
  • Secara sederhana, hati nurani adalah pusat kebenaran sejati. Pada akhirnya, hati nurani adalah solusi dari merosotnya akhlak dan moral bangsa Indonesia. Hati nurani sangat penting untuk mengedepankan kembali kejujuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang saat ini sedang bermasalah.

04. Lambang Partai dan Penjelasannya

Lambang Partai

  1. Gambar lambang berbentuk empat persegi panjang dengan warna putih-merah-putih mendatar, pada bagian merah bertuliskan HANURA warna putih dengan ujung meruncing berbentuk anak panah melesat maju menembus warna coklat tanah dan pada bagian putih bawah tertulis PARTAI HATI NURANI RAKYAT warna hitam.
  2. Arti warna pada lambang:
    Lambang terdiri dari warna putih, merah, hitam dan coklat tanah.
    a. Warna putih bermakna kesucian dalam mengemban amanah hati nurani rakyat.
    b. Warna merah bermakna keberanian dalam menghadapi berbagai tantangan perjuangan.
    c. Warna coklat tanah bermakna kearifan dalam mewujudkan kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat.
    d. Warna hitam bermakna keteguhan hati dan ketegasan sikap dalam mencapai cita-cita perjuangan.
  3. Arti simbol pada lambang:
    a. Anak panah bersudut lima melambangkan cita-cita yang akan dicapai berlandaskan Pancasila.
    b. Tulisan HANURA di tengah anak panah melambangkan derap langkah perjuangan Partai yang selalu bergerak maju mengemban amanah hati nurani rakyat.
    c. Gambar lambang berbentuk empat persegi panjang bermakna komitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI.
  4. Arti lambang secara keseluruhan adalah Partai HANURA sebagai pengemban amanah suci hati nurani rakyat, senantiasa teguh berjuang menghadapi berbagai tantangan untuk mewujudkan kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

05. Azas, Ciri, dan Nilai Dasar Perjuangan Partai HANURA

  1. Ketakwaan; dalam gerak langkahnya senantiasa mendasarkan pada nilai etika dan moralitas atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Kemandirian; pribadi yang bermartabat dengan mengutamakan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk keunggulan bangsa, tanpa harus bergantung pada pihak lain dan terbebas dari intervensi pihak asing.
  3. Kebersamaan; selalu menjalin keharmonisan dari keberagaman etnis, suku, agama, bahasa, dan adat istiadat.
  4. Kerakyatan; peka dan tanggap terhadap aspirasi, tuntutan, kondisi, dan harapan rakyat serta konsisten dalam memperjuangkannya.
  5. Kesederhanaan; selalu mengedepankan sikap dan perilaku yang bersahaja.

06. Visi Partai HANURA

  • Kemandirian Bangsa
    Bangsa Indonesia saat ini terasa tidak mandiri lagi. Banyak tekanan dan intervensi asing yang sudah merajalela merugikan kehidupan seluruh bangsa. Kita harus rebut kembali, bangun kembali kemandirian kita dalam penyelenggaraan negara.
  • Kesejahteraan Rakyat
    Sebuah kata yang sudah sangat sering diucapkan tetapi sangat sulit diwujudkan. Semua kader Partai HANURA yang juga calon pemimpin bangsa, di benaknya harus selalu tertanam kalimat 'kesejahteraan rakyat Indonesia', sekaligus mampu berusaha menghadirkannya.

07. Misi Partai HANURA

  • Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui penyelenggaraan negara yang demokratis, transparan, akuntabel, dengan senantiasa berdasar pada Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Melahirkan pemimpin yang bertakwa, jujur, berani, tegas, dan berkemampuan, yang dalam menjalankan tugas selalu mengedepankan hati nurani.
  • Menegakkan hak dan kewajiban asasi manusia dan supremasi hukum yang berkeadilan secara konsisten, sehingga dapat menghadirkan kepastian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  • Membangun sumber daya manusia yang sehat dan terdidik yang didasari akhlak dan moral yang baik serta memberi kesempatan seluas-luasnya kepada kaum perempuan dan pemuda untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa.
  • Membangun ekonomi nasional yang berkeadilan dan berwawasan lingkungan serta membuka kesempatan usaha dan lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
  • Memberantas korupsi secara total dalam rangka mewujudkan Indonesia yang maju, mandiri, dan bermartabat.
  • Mengembangkan Otonomi Daerah untuk lebih memacu pembangunan di seluruh tanah air dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

08. Tugas Pokok Partai HANURA

  • Partai membangun organisasi yang solid dan merakyat di semua tingkatan.
  • Melakukan rekrutmen dan kaderisasi serta upaya-upaya taktis dan strategis untuk memenangkan perebutan hati rakyat, pemilu legislatif, pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah.
  • Untuk melaksanakan misi partai dalam rangka mewujudkan kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat.

09. Mengapa Partai HANURA disebut Partai Organik

  • Kebalikan partai organik adalah partai mesin, yaitu partai yang hanya bergerak kalau ada instruksi dan pasokan bahan bakar dari pusat. Partai semacam ini bukan partai perjuangan, bukan partai pengabdian. Fondasinya rapuh, semangatnya diukur dari fulus semata.
  • Partai organik adalah seperti jamur yang tumbuh di mana saja dalam keadaan bagaimana pun juga, mampu menghidupi dirinya sendiri dengan memanfaatkan lingkungannya.
  • Pusat partai telah menyediakan dukungan awal dan bibit unggul yang dipercaya rakyat akan membantu kesejahteraan, selanjutnya ditanam, dirawat, dan dipanen oleh para pengurus partai di seluruh daerah.
  • Pusat partai tetap menyiapkan berbagai sarana dan cadangan yang cukup untuk menghadapi kondisi yang tak terduga, terutama menghadapi event penting.
  • Partai HANURA bukan mesin politik maka ia akan terus bergerak dan tumbuh, tanpa harus menunggu petunjuk serta dukungan dari pusat.

10. NKRI, Pancasila, dan UUD 1945

  • NKRI, Pancasila, serta UUD 1945 adalah kesepakatan kolektif bangsa yang harus dipertahankan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
  • Apabila ada niat melakukan penyempurnaan UUD 1945 harus melalui kesepakatan kolektif bangsa dengan dibangun terlebih dahulu grand design yang komprehensif melalui uji sahih/uji publik yang kredibel.
  • Penyempurnaan UUD 1945 bukan diserahkan semata-mata kepada kaum politisi, tetapi dilakukan bersama-sama dengan para arsitek konstitusi yang benar-benar ahli di bidangnya.
  • Dalam catatan sejarah bangsa, mengutak-atik NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 hanya akan menimbulkan perpecahan bangsa dan bukan menghasilkan kebaikan.

11. Struktur Organisasi Partai HANURA

  • Tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, tingkat kecamatan, tingkat desa/kelurahan, bahkan sampai RT/RW.
  • Kepengurusan tingkat pusat terdiri dari Dewan Penasehat, Majelis Pakar, Dewan Pimpinan Pusat dan Organisasi Sayap.
  • Para pengurus dipilih dari tokoh/kader partai yang memiliki komitmen terhadap perjuangan partai.
  • Bagi para pengurus yang mengingkari komitmennya akan terus-menerus dilakukan penggantian secara terus-menerus.

12. Motto 'Saatnya Hati Nurani Bicara'

  • Reformasi memang telah memberikan kebebasan, namun harus dibayar mahal dengan hilangnya rasa persaudaraan sebagai bangsa, dan digantikan perasaan yang penuh kebencian, dendam, curiga, saling hujat, bertengkar satu dengan yang lain, bahkan terkadang saling menyerang antar anak bangsa.
  • Keterpurukan ini tidak lain adalah buah dari nafsu yang tidak terbendung, yang tidak dapat dikendalikan.
  • Lawan dari nafsu (dalam Islam disebut nafsu zulmani) adalah kekuatan hati nurani.
  • Saatnya semua elemen bangsa diajak kembali menggunakan hati nuraninya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.
  • Jika hati nurani mulai bicara maka sesama anak bangsa akan saling asih, asah, dan asuh, dan pada akhirnya akan terbangun suasana yang tertib, aman, dan sejahtera.

13. 'Bekerja untuk Keunggulan Bangsa'
Artinya seluruh kader Partai HANURA:

  • Sadar akan pentingnya membangun bangsa yang berkualitas untuk berkompetisi di pentas global.
  • Sanggup bekerja keras demi kemajuan bangsa.
  • Berjuang melahirkan sumber daya manusia yang unggul.
  • Meneguhkan kembali komitmen mengolah semua potensi sumber daya alam bagi kesejahteraan seluruh bangsa.

Senin, April 28, 2008

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

Bahwa PDI Perjuangan merupakan partai politik yang sebenarnya adalah partai yang secara langsung memiliki tali kesejarahan dengan partai politik masa orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari hasil fusi 5 (lima) partai politik. Kelima partai politik tersebut antara lain :

1. Partai Nasional Indonesia (PNI)

PNI didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat dalam waktu singkat. Karena dianggap berbahaya oleh penguasa kolonial, tanggal 29 Desember 1929 semua kantor dan rumah pimpinan PNI digeledah. Bung Karno, Maskun, Supriadinata dan gatot mangkupraja ditangkap. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan Raad van Justitie tanggal 17 April 1931, mereka dipidana penjara. Keputusan ini diartikan mencap PNI sebagai suatu organisasi yang terlarang.

Setelah tanggal 3 November 1945 keluar Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Partai Politik. Dengan landasan tersebut, tanggal 29 Januari 1946 di Kediri PNI dibentuk oleh partai-partai yang tergabung dalam Serikat Rakyat Indonesia atau di kenal dengan Serrindo pada waktu itu, PNI Pati, PNI Madiun, PNI Palembang, PNI Sulawesi, kemudian Partai Republik Indonesia Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat Yogya, dan ada beberapa lagi partai kecil lainnya yang berada di Kediri. Fusi ini terjadi ketika ada Konggres Serrindo yang pertama di Kediri. Dalam Kongres tersebut PNI dinyatakan memiliki ciri Sosio-Nasionalisne-Demokrasi yang merupakan asas dan cara perjuangan yang dicetuskan Bung Karno untuk menghilangkan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Pengunaan asas ini diasosiasikan sebagai "kebangkitan kembali PNI 1927" yang pernah didirikan Bung Karno.

Ideologi partai ini menggunakan apa yang dikembangkan oleh Bung Karno yaitu Marhaenisme, sebuah istilah yang di bangun atau dipakai oleh beliau ketika beliau melakukan kunjungan ke salah satu daerah di Jawa Barat dan bertemu dengan seorang petani yang namanya Marhaen.

PNI merupakan partai pemenang pemilu nomor satu dalam pemilu tahun 1955 dengan komposisi suara kurang lebih 22,3%. Basis sosial dari partai ini pertama-tama adalah masyarakat abangan di Jawa. Kekuatan mobilisasi terletak pada penguasaan atas birokrasi dan yang kedua adalah para pamong praja, lurah dan para kepala desa. Ini menjelaskan kenapa Golkar mengambil alih itu, PNI ambruk secara total. Ketika dukungan cukup merata menyebar di seluruh Indonesia, ketika di beberapa propinsi yang sangat terbatas seperti di Aceh, Sumatra Barat, dimana pendukung PNI itu jumlahnya kurang dari 0,7%. Di kawasan Jawa di bagian sebelah utara Bandung PNI tidak pernah mendapatkan basis dukungan yang kuat. Itu merupakan daerah Islam atau daerah Masyumi. Di Bandung daerah selatan itu merupakan kantong utama. Jawa Tengah adalah kantong-kantong utama, dan kontestan yang paling serius itu datang dari Partai Komunis Indonesia yang berada di beberapa daerah segitiga seperti Jelanggur dan seterusnya. Blitar bagian selatan dan sebagainya.

2. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

Parkindo adalah partai yang didirikan karena ada maklumat pada waktu itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18 November 1945 yang diketuai Ds Probowinoto. Parkindo merupakan penggabungan dari partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia) di Sumut, PKN (Partai Kristen Nasional) di Jakarta dan PPM (Partai Politik Masehi) di Pematang Siantar.

3. Partai Katolik

Partai Katolik lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan nama PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) merupakan kelanjutan dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik. Sebenarnya partai ini pada tahun 1917-an itu sudah ada. Partai ini berdiri pada tahun 1923 di Yogyakarta yang didirikan oleh umat Katolik Jawa yang diketuai oleh F.S. Harijadi kemudian diganti oleh I.J. Kasimo dengan nama Pakepalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Pada Pemilu 1971 Partai Katolik meraih 606.740 suara (1,11%) sehingga di DPR mendapat 3 kursi.

4. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia adalah partai yang didirikan terutama oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirnya. Tokoh dibalik pendirian IPKI adalah AH. Nasution, Kol Gatot Subroto dan Kol Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu 1955. Dalam pemilu itu anggota ABRI aktif dapat dipilih melalui pemilu dan duduk di Konstituante.

IPKI didirikan pada tanggal 20 Mei 1954 kurang lebih satu tahun sebelum pemilu tahun 1955 yang berlangsung bulan September. Waktu itu, Jenderal Besar Nasution yang berpangkat kolonel, terlibat pada peristiwa yang sangat terkenal yaitu peristiwa 27 Oktober.

Peristiwa 27 Oktober ini adalah sebuah peristiwa dimana tentara melakukan upaya untuk memaksa Bung Karno membubarkan parlemen. Mereka datang ke istana, gerombolan tentara yang sangat banyak dengan tank, meriam diarahkan ke depan istana, dan meminta kepada Bung Karno untuk membubarkan parlemen, karena parlemen dianggap telah mengintervensi persoalan internal tentara. Nasution dipanggil, usianya baru 33 tahun dan disuruh kembali untuk memikirkan tindakannya, di copot jabatannya, antara Oktober 1952 sampai nantinya dia dikembalikan pada jabatannya pada tahun 1955. Selama tiga tahunan itu Nasution berfikir sangat serius. Bung Karno tidak bisa dilawan. Diantara tahun-tahun inilah Nasution kemudian mendirikan IPKI.

Dalam pertemuan sangat tertutup antara wakil IPKI dengan Soeharto pada tahun 1971. Dua tokoh IPKI yang besar atau salah satu tokoh IPKI yang besar, mantan Bupati Madiun, Achmad Sukarmadidjaja almarhum, mengatakan bahwa IPKI tidak mungkin hidup di dalam gerombolan partai-partai yang punya ideologi aneh-aneh dan ingin bergabung dengan golongan karya atau menjadi partai sendiri.

Kedekatan dengan Golkar, menjelang Deklarasi PDI 1973 IPKI pernah berpikir untuk bergabung ke Golkar. Tanggal 12 Maret 1970 Presiden Soeharto memberi jawaban atas permintaan Achmad Sukarmadidjaja bahwa IPKI bisa bergabung ke Golkar dengan syarat harus membubarkan diri lebih dahulu. IPKI cukup spesifik dan memiliki dukungan yang konkrit menurut pemilu 1955 kecuali sedikit di Jawa Barat, demikian juga dengan Murba. Hanya memiliki dukungan yang sangat sedikit di Jawa Barat kurang lebih 290.000-an orang. Pada Pemilu 1971 IPKI hanya mampu memperoleh 388.403 (0,62 %) sehingga tidak mendapat satupun kursi di DPR.

5. Murba

Murba didirikan pada tanggal 7 November 1948 setelah Tan Malaka keluar dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka.

Menurut data Kementrian Penerangan RI tentang "Kepartaian di Indonesia" seri Pepora No. 8, Jakarta, 1981, istilah Murba mengacu pada pengertian "golongan rakyat yang terbesar yang tidak mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri". Asas partai ini antifasisme, anti imperialisme-kapitalisme dengan tujuan akhirnya mewujudkan masyarakat sosialisme.

Meski program Murba membela rakyat kecil dan kaum tertindas, dukungan riil rakyat terhadap Murba kurang begitu kuat. Terbukti dalam Pemilu 1971 partai ini tidak memperoleh satu pun kursi di DPR karena hanya mampu meraih 48.126 suara (0,09 %).

Proses fusi terjadi sebenarnya hanya untuk menjamin kemenangan kekuatan Orde Baru. Pada saat itu penguasa Orde Baru mengaktifkan Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) yang proses pembentukannya didukung oleh militer. Tap MPRS No.XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan disebutkan agar Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong (DPR-GR) segera membuat Undang-Undang untuk mengatur kepartaian, keormasan dan kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan.

Gagasan agar supaya fusi untuk pertama kali tahun 1970. Tepatnya 7 Januari tahun 1970. Soeharto memanggil 9 partai politik untuk melakukan konsultasi kolektif dengan para pimpinan 9 partai politik tersebut. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan partai politik dengan maksud untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih tentram lebih damai bebas dari konflik agar pembangunan ekonomi bisa di jalankan. Partai politik dikelompokan ke dalam dua kelompok, kelompok pertama disebut kelompok materiil spirituil yang menekankan pada aspek materiil dan kedua adalah spirituil materiil yang menekankan pada aspek spiritual. Kelompok materiil spirituil menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok spirituil materiil itu kemudian menjadi Partai Persatuan pembangunan.
Setelah diskusi-diskusi seperti itu tokoh-tokoh partai coba mulai bertemu dan mulai mendiskusikan gagasan ini. Pertemuan kemudian berlanjut pada tanggal 27 Februari 1970 Soeharto mengundang lima partai politik yang dikategorikan kelompok pertama yaitu PNI (Partai Nasiona Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan Murba. Ide pengelompokan yang dilontarkan Soeharto menjadi perhatian masyarakat umum dan ditengah-tengah proses pengelompokan tersebut berkembang rumor yang sangat kuat isu pembubaran partai-partai politik jika tidak dicapai kesepakatan untuk mengadakan pengelompokan sampai batas waktu 11 Maret 1971. Karena partai sangat lamban, mulai muncul gerakan di sejumlah daerah yang paling terkenal adalah di Jawa Barat. Panglima daerah di Jawa Barat pada waktu adalah Jenderal Darsono melakukan buldoser secara besar-besar ke partai di Jawa Barat. Muncul gagasan tentang dwi partai. Partai yang cuma dua di Indonesia. Dan korban paling utama pada waktu itu adalah Partai Nasional Indonesia.

Pada tanggal 7 Maret 1970 bertempat di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar di Jalan Teuku Umar No. 5 Jakarta, lima tokoh Partai yang hadir yaitu Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja (IPKI), Maruto Nitimihardjo dan Sukarni (Murba), VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo), mengadakan pertemuan dan pembicaraan mengenai pengelompokan partai. Dalam pertemuan tersebut, muncul kekhawatiran terjadinya polarisasi antara kelompok Islam dan non-Islam, oleh karenanya muncul gagasan sebagai alternatif untuk mengelompokan partai menjadi lima atau empat kelompok yang terdiri dari dua kelompok muslim, satu nasionalis, satu kristen dan satu kelompok karya. Namun pemerintah Orde Baru saat itu tetap menginginkan pengelompokan sesuai yang diajukan sebelumnya hingga akhirnya gagasan yang diusulkan oleh tokoh-tokoh tersebut tidak pernah terwujud.

Pada tanggal 9 Maret 1970 pertemuan pimpinan lima partai tersebut berlanjut ditempat yang sama dengan agenda pokok yaitu penyelesaian deklarasi atau pernyataan bersama dan pokok-pokok pikiran selanjutnya. Dalam pertemuan ini berhasil membentuk tim perumus yang terdiri dari Mh. Isnaeni, M Supangat, Murbantoko, Lo Ginting dan Sabam Sirait. Tim perumus menghasilkan "Pernyataan Bersama" yang ditanda tangani oleh ketua partai masing-masing, yakni Hardi (PNI), M Siregar (Parkindo), VB Da Costa (Partai Katolik), achmad sukarmadidjaja (IPKI) dan Sukarni (Murba).

Pada tanggal 12 Maret 1970 kembali dilakukan pertemuan dengan Presiden Soeharto yang didampingi oleh Brigjen Sudjono Humardani dan Brigjen Sudharmono. Dari pihak partai politik hadir Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja dan M Supangat (IPKI), Maruto Nitimihardjo (Murba), VB Da Costa dan Lo Ginting (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo).

Pada tanggal 24 Maret 1970 para pemimpin parpol tersebut kembali melakukan pertemuan di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk memperjelas keberadaan kelompok yang telah dibentuk, baik nama, sifat, pengorganisasian dan program. Hasil pertemuan tersebut akhirnya disepakati nama "Kelompok Demokrasi Pembangunan" dan dikukuhkan melalui SK No. 42/KD/1972, tanggal 24 Oktober 1972. Meskipun sebelumnya banyak muncul usulan-usulan nama yang diajukan oleh masing-masing partai, antara lain oleh Lo Ginting (Partai Katolik) yang mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi Kesejahteraan" atau "Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan". Maruto Nitimihardjo (Murba) mengusulkan nama "Kelompok Gotong-Royong", karena kata "gotong royong" dianggap merupakan perasaan pancasila dan dapat menghindari polarisasi. Usep Ranawidjaja (PNI) keberatan karena bisa ditafsirkan dan dikaitkan dengan Orde Lama. M Supangat (IPKI) mengusulkan dibentuk "Badan Kerjasama" sebagai sifat pengelompokan yang dinamakan "Kelompok Pembangunan". Sabam Sirait (Parkindo) mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi dan Pembangunan" atau "Kelompok Sosial Demokrat".

Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 tepat jam 24.00 dalam pertemuan Majelis Permusyawaratan Kelompok Pusat (MPKP) yang mengadakan pembicaraan sejak jam 20.30 di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, Kelompok Demokrasi dan Pembangunan melaksanakan fusi 5 Partai Politik menjadi satu wadah Partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia meskipun pada awal fusi sebenarnya muncul 3 (tiga) kemungkinan nama untuk fusi menjadi :

1. Partai Demokrasi Pancasila
2. Partai Demokrasi Pembangunan
3. Partai Demokrasi Indonesia

Deklarasi ditandatangani oleh wakil kelima partai yaitu MH. Isnaeni dan Abdul Madjid mewakili Partai Nasional Indonesia, A. Wenas dan Sabam Sirait Mewakili Partai Kristen Indonesia, Beng Mang Rey Say dan FX. Wignyosumarsono mewakili Partai Katolik, S. Murbantoko R. J. Pakan mewakili Partai Murba dan Achmad Sukarmadidjaja dan Drs. Mh. Sadri mewakili Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Dengan dideklarasikannya fusi kelima partai tersebut, maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia.

Setelah deklarasi fusi tersebut, selanjutnya untuk memenuhi poin 3 Deklarasi fusi, dibentuk tim penyusun Piagam Perjuangan, AD/ART, struktur organisasi dan prosedur yang diperlukan melaksanakan fusi tersebut. Tim yang dikenal sebagai Tim 10 itu semula diketuai Sunawar Sukowati (PNI) tapi kemudian diganti Sudjarwo (PNI) karena penugasan Sunawar sebagai duta besar.

Pada tanggal 13 Januari 1973 Majelis Pimpinan Partai (MPP) terbentuk, Sabtu 14 Januari 1973 jam 01.20 pagi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berhasil menyusun struktur dan personalia Dewan Pimpinan Pusat sampai terselenggaranya Kongres Nasional. Susunan kepengurusan DPP PDI sebagai berikut :

I. MAJELIS PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 25 orang) :

II. DEWAN PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 11 orang)

DPP PDI bersama Tim 10 pada tanggal 8-10 Juni 1973 di Cibogo Bogor berhasil menyelesaikan AD/ART PDI dan telah disahkan dalam rapat DPP PDI tanggal 26 Juli 1973 serta dikukuhkan dalam rapat MPP PDI di kediaman hasyim Ning pada tanggal 4 Agustus 1973. Sementara Piagam dan Program Perjuangan Partai dikukuhkan dalam rapat MPP PDI tanggal 19-20 September 1973.
Untuk memenuhi poin 4 Deklarasi Fusi, kelima partai yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba mengadakan forum internal masing-masing partai. PNI menyelenggarakan Munas tanggal 27-28 Januari 1973 di Jakarta yang memutuskan bahwa masalah fusi dengan partai-partai lain tidak dipersoalkan dan menyetujui kebijakan DPP PNI dalam menghadapi fusi. Parkindo mengadakan Sidang Dewan Partai VII yang diperluas pada tanggal 8-10 Juli 1973 di Sukabumi hasilnya menyetujui kebijakan DPP Parkindo berfusi dalam PDI. Partai Katolik melaksanakan Sidang Dewan Partai yang diperluas pada tanggal 25-27 Februari 1973 di Jakarta dan hasilnya menyetujui kebijakan DPP untuk berfusi. IPKI melaksanakan Musyawarah Dewan Paripurna Nasional IV di Tugu-Bogor pada tanggal 25-27 mei 1973 dan Murba melaksanakan Sidang Dewan Partai pada tanggal 1-3 Agustus 1973 yang masing-masing menyetujui kebijakan DPP nya untuk berfusi.

Terbentuknya DPP diiringi terbentuknya kepengurusan Cabang (kepengurusan tingkat kabupaten) sebanyak 154 Cabang. Tahun 1974 kepengurusan Cabang bertambah 77 Cabang, tahun 1975 bertambah 20 Cabang, tahun 1976 bertambah 6 Cabang.

Musyawarah nasional adalah bentuk pertemuan besar PDI yang pertama pasca fusi. Setelah mendapat restu Presiden Soeharto tanggal 18 Juni 1973 dan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 19 Juni 1973, DPP PDI melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas). Dalam praktik, Munas I ini mengambil nama "Konpernas" (Konsultasi dan Penataran Nasional) di Jakarta tanggal 20-24 september 1973. Konpernas dihadiri utusan Dewan Pimpinan Daerah (DPD), MPP, Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu), Anggota Fraksi PDI di DPR, dan tokoh-tokoh Pemerintah seperti mayjen Ali Murtopo, Mayjen Subiyono (Wakil Dephankam), JB sumarlin (Wakil Bappenas), Mayjen Sunandar (Wakil Mendagri), Sulaiman (Wakil Menlu) dan Prof Sunario (Wakil Dewan Harian Angkatan 1945).

Kongres I PDI berlangsung dari tanggal 12 - 13 April 1976. Pelaksanaan Kongres I ini sempat tertunda-tunda akibat adanya konflik internal. Di dalam Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat, pemerintah memplot Sanusi Hardjadinata agar terpilih. Dan hasilnya Sanusi Hardjadinata terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI. Susunan DPP hasil Kongres I yang susunan personalianya sudah disempurnakan atas kesepakatan antara Mh Isnaeni dan Sunawar.

Kepengurusan tersebut karena adanya konflik diantara pengurus DPP, maka pada tanggal 16 Januari 1978, susunan DPP PDI hasil penyelesaian politik bersama Bakin.

Kongres II dilaksanakan pada tahun 1981 di Jakarta, meskipun ada penolakan dari "Kelompok Empat" (Usep, Abdul Madjid, Walandauw dan Zakaria Ra'ib) yang mengajukan keberatan atas penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah. Namun Kongres II PDI tetap berlangsung pada tanggal 13-17 Januari 1981 mengambil tema : "Dengan Menggalang Persatuan dan Kesatuan Dalam Rangka Memantapkan Fusi, Meningkatkan Peranan dan Partisipasi PDI Untuk Mensukseskan Pembangunan".

Di dalam Kongres II ini campur tangan pemerintah semakin kuat. Meskipun ada keberatan terhadap pelaksanaan Kongres tersebut, Kongres II PDI tetap berjalan. Pemerintah tetap mengizinkan penyelenggaraan Kongres tersebut dan Presiden Soeharto yang membuka acara Kongres II PDI.

Di dalam Kongres II PDI menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara partai-partai pendukung PDI yang berkonflik. Kongres II PDI akhirnya menyepakati bahwa fusi telah tuntas.

Pasca Kongres II PDI konflik internal masih terjadi yaitu perselisihan antara Hardjanto dengan Sunawar. Kelompok hardjanto mendesak diselenggarakannya Kongres Luar Biasa sedangkan Kubu Sunawar hanya menghendaki Munas. Kubu Sunawar menginginkan Kongres III PDI diselenggarakan setelah pemilu 1987, sementara kubu Hardjanto menginginkan sebelum Pemilu. Akhirnya Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu yaitu pada tanggal 15-18 April 1986 di Wisma haji Pondok Gede, Jakarta. Kongres III dapat diselenggarakan karena Sunawar Soekawati meninggal dunia. Di dalam Kongres ini semaki menegaskan kuatnya ketergantungan PDI pada Pemerintah. Kongres III PDI gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah. Pada waktu itu yang berperan adalah Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Benny Moerdani dan Menteri Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono.

Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan. Kongres IV PDI diselenggarakan tanggal 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara dengan peserta sekitar 800 orang. Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro, kemudian muncul nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta.

Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung Pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum didukung penuh oleh Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan.

Kongres IV PDI di Medan dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar. Namun beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang para demonstran yang dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos masuk ke arena sidang Kongres namun dihadang satuan Brimob. Acara tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi sebagai Ketua Umum, namun belum sampai penyusunan kepengurusan suasana Kongres kembali ricuh karena aksi demonstrasi yng dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres. Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui mendagri Yogie S Memed mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI jatim pada tanggal 25-27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI .

Setelah gagalnya Kongres IV PDI yang berlangsung di Medan, muncul nama Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh warga PDI untuk tampil menjadi Ketua Umum. Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI. Dukungan tersebut muncul dari DPC berbagai daerah yang datang kekediamannya pada tanggal 11 September 1993 sebanyak lebih dari 100 orang yang berasal dari 70 DPC. Mereka meminta Megawati tampil menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.

Dukungan terhadap Megawati semakin kuat dan semakin melejit dalam bursa calon Ketua Umum DPP PDI. Muncul kekhawatiran Pemerintah dengan fenomena tersebut. Pemerintah tidak ingin Megawati tampil dan untuk menghadang laju Megawati ke dalam bursa pencalonan Ketua Umum, dalam acara Rapimda PDI Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1993 yang diadakan dalam rangka persiapan KLB muncul larangan mendukung pencalonan Megawati.

Kendati penghadangan oleh Pemerintah terhadap Megawati untuk tidak maju sebagai kandidat Ketua Umum sangat kuat, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi hingga akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto.

Untuk menyelesaikan konflik PDI, beberapa hari setelah KLB, Mendagri bertemu Megawati, DPD-DPD dan juga caretaker untuk menyelenggarakan Munas dalam rangka membentuk formatur dan menyusun kepengurusan DPP PDI. Akhirnya Musyawarah Nasional (Munas) dilaksanakan tanggal 22-23 Desember 1993 di Jakarta dan secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI. Dalam Munas ini dihasilkan kepengurusan DPP PDI periode 1993-1998.

Berakhirnya Munas ternyata tidak mengakhiri konflik internal PDI. Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle walau tidak diakui oleh Pemerintah namun kegiatannya tidak pernah dilarang. Disamping itu kelompok Soerjadi sangat gencar melakukan penggalangan ke daerah-daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan menggelar Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil dirangkulnya untuk menggelar Kongres.

Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri menolak tegas diselenggarakannya "Kongres", kemudian pada tanggal 5 Juni 1996, empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak Kongres.

Kelompok Fatimah Achmad yang didukung oleh Pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada tanggal 2-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan dengan didukung penjagaan yang sangat ketat dari aparat keamanan lengkap dengan panser. Pagar Asrama Haji tempat kegiatan berlangsung ditinggikan dengan kawat berduri setinggi dua meter. Disamping itu di persimpangan jalan dilakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk terhadap orang-orang yang melintas.

Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati demonstrasi secara besar-besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres rekayasa yang diselenggarakan oleh kelompok Fatimah Achmad, demontrsi itu berakhir bentrok dengan aparat dan saat ini dikenal dengan "Peristiwa Gambir Berdarah".

Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres Medan, namun Pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu tahun 1997. Tanggal 25 Juli 1996 Presiden Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin oleh Soerjadi selaku Ketua Umum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal. Hal ini semakin membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok.

Masa pendukung Megawati mengadakan "Mimbar Demokrasi" dihalaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga pada tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu oleh ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa "Sabtu Kelabu 27 Juli" yang banyak menelan korban jiwa.

Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurusnya masih tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan dibawah pantauan Pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati melalui Pesan Hariannya menyatakan bahwa PDI dibawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI. Pemilu 1997 diikuti oleh PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena hasil Pemilu PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.

Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan Megawati.Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca Lengsernya Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan Megawati semakin kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.

Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali. Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar negara sahabat. Kongres ini disebut dengan "Kongres Rakyat". Karena selama kegiatan Kongres berlangsung dari mulai acara pembukaan yang diselenggarakan di lapangan Kapten Japa, Denpasar sampai acara penutupan Kongres, jalan-jalan selalu ramai dipadati warga masyarakat yang antusias mengikuti jalannya Kongres tersebut.

Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi.

Didalam Kongres tersebut, Megawati diberi kewenangan khusus untuk mengambil langkah-langkah organisatoris dalam rangka eksistensi partai, NKRI dan UUD 1945, kewenangan tersebut dimasukan di dalam AD-ART PDI. Meskipun pemerintahan sudah berganti, namun yang diakui oleh Pemerintah adalah masih tetap PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. Oleh karenanya agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal, kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istoran Senayan Jakarta.

Pemilu tahun 1999 membawa berkah bagi PDI Perjuangan, dukungan yang begitu besarnya dari masyarakat menjadikan PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153 orang. Dalam perjalananya kemudian, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid yang terpilih didalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden Republik Indonesia Ke - 4.

Untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI menjadi PDI Perjuangan, pengurus DPP PDI Perjuangan memutuskan melaksanakan Kongres I PDI Perjuangan meskipun masa bakti kepengurusan DPP sebelumnya baru selesai tahun 2003. Salah satu alasan diselenggarakannya Kongres ini adalah untuk memantapkan konsolidasi organisasi Pasca terpilihnya Megawati sebagai Wakil Presiden RI.

Kongres I PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 27 Maret - 1 April 2000 di Hotel Patra Jasa Semarang-Jawa Tengah. Menjelang Kongres I PDI Perjuangan, sudah muncul calon-calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, nama yang muncul antara lain Dimyati Hartono yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan, kemudian muncul pula nama Eros Jarot yang sempat menggalang DPC-DPC untuk mendukungnya. Di dalam pemandangan umum Cabang-Cabang, dari 243 DPC, hanya 2 DPC yang mengusulkan nama lain yaitu DPC Kota Jayapura dalam pemandangan umumnya mengusulkan 3 orang calon Ketua Umum yaitu Megawati, Dimyati Hartono dan Eros Jarot, kemudian DPC Kota Banjarmasin mengusulkan Eros Jarot sebagai KetuanUmum DPP PDI Perjuangan.

Kongres I PDI Perjuangan akhirnya menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.

Setelah Kongres I PDI Perjuangan tahun 2000, pada tahun 2001 Megawati diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Ke - 5 menggantikan KH Abdurahman Wahid yang diturunkan dalam Sidang Istimewa MPR-RI. Diangkatnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke - 5 membawa perubahan pada sikap politik PDI Perjuangan dan cap sebagai partai penguasa melekat di PDI Perjuangan.

Meski sebagai partai penguasa, PDI Perjuangan ternyata tidak mampu meraih kemenangan di dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004. PDI Perjuangan hanya mampu memperoleh suara diurutan kedua dengan 109 kursi di DPR.

Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 28 - 31 Maret 2005 di Hotel Grand Bali Beach, Denpasar Bali, tempat dimana Kongres V PDI diselenggarakan pada tahun 1998. Kongres ini selesai 2 hari lebih cepat dari yang dijadwalkan yaitu 28 Maret - 2 April 2005.

Menjelang Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan, sudah banyak muncul nama-nama yang akan maju sebagai calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan antara lain Guruh Soekarnoputra yang digagas oleh Imam Mundjiat Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Timur, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan.

Masing-masing calon tersebut giat melakukan penggalangan kekuatan di daerah. Disamping itu kelima calon tersebut beberapa kali mengadakan pertemuan-pertemuan di beberapa hotel di Jakarta salah satunya pertemuan di Sahid Jaya Hotel. Di kemudian hari kelima calon ini bergabung menjadi satu dalam satu wadah yang dinamakan "Kelompok Gerakan Pembaruan PDI Perjuangan" yang mengusung satu nama calon Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yaitu Guruh Sukarno Putra.

Di dalam sidang paripurna pertama, sidang sempat ricuh saat pembahasan tata tertib yang diikuti beberapa peserta walk out dari arena sidang. Namun sidang paripurna tetap berlangsung setelah Ir. Sutjipto selaku pimpinan sidang mengajukan penawaran kepada peserta yang menolak Pasal 7 tata tertib untuk berdiri dan yang menyetujui tetap duduk, ternyata dari 1822 peserta hanya beberapa orang yang berdiri dan sidang dilanjutkan kembali.

Kongres II PDI Perjuangan akhirnya berakhir pada tanggal 31 Maret 2005 setelah Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum terpilih karena seluruh peserta dalam pemandangan umumnya mengusulkan Megawati menjadi Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2005-2010. Susunan pengurus DPP PDI Perjuangan hasil Kongres II PDI Perjuangan sebagai berikut :


Ketua Umum






: Megawati Soekarnoputri











Sekretaris Jendral







: Ir. Pramono Anung W.











Wakil Sekjen Bidang Internal







: Mangara M. Siahaan

Wakil Sekjen Bidang Eksternal







: Agnita Singedekane Irsal

Wakil Sekjen Bidang Fungsi Pemerintahan







: Sutradara Gintings

Bendahara : Philip Widjaja

Wakil Bendahara Bidang Dana
: Daniel Budi Setiawan
Wakil Bendahara Bidang Inventarisasi Kekayaan
: NGA. Sukma Dewi Djakse

Bidang Internal

Ketua Bidang Politik dan Pemenangan Pemilu
: Tjahjo Kumolo
Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi
: Suwarno
Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi
: Alexander Litaay
Ketua Bidang Sumberdaya dan Dana
: Murdaya Poo
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat & Media
: Panda Nababan

Bidang Eksternal

Ketua Bidang Pemuda Mahasiswa & Olahraga
: Maruarar Sirait
Ketua Bidang Buruh Tani & Nelayan
: Jacob Nuwawea
Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
: Guruh Soekarno Putra
Ketua Bidang Usaha Kecil Menengah & Koperasi
: Ir. Mindo Sianipar
Ketua Bidang Agama & Kerohanian
: Prof. Dr. Hamka Haq
Ketua Bidang Organisasi Kemasyarakatan
: Dudhie Makmun Murod
Ketua Bidang Informasi & Komunikasi
: Ir. Daryatmo Mardiyanto
Ketua Bidang Lingk Hidup & Pengabdian Masyarakat
: Sonny Keraf

Bidang Fungsi Pemerintahan

Ketua Bidang Keamanan dan Pertahanan
: Theo Syafei
Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat
: Adang Ruchiyatna
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan
: Ir. Emir Moeis
Ketua Bidang Luar Negeri
: Dr. Arief Budimanta
Ketua Bidang Dalam Negeri / Otonomi Daerah
: Ir. Sutjipto
Ketua Bidang Hukum & Hak Azasi Manusia
: Firman Jaya Daeli

Pada tanggal 25 April 2005, kepengurusan DPP PDI Perjuangan hasil Kongres II PDI Perjuangan dilaporkan ke Departenmen Kehakiman dan HAM dan pada tanggal 30 Mei 2005 Menteri Hukum dan HAM menerbitkan surat keputusan nomor : M-01.UM.06.08 Tahun 2005 yang menerima perubahan kepengurusan dan AD-ART hasil Kongres tersebut