Sabtu, April 26, 2008

MENYONGSONG BERAKHIRNYA ABAD MASYARAKAT ADAT: RESISTENSI PENGAKUAN BERSYARAKAT

Oleh: Rikardo Simarmata*

`Rame-rame mengakui keberadaan masyarakat adat'. Itulah judul yang paling tepat untuk menggambarkan tingkah laku berbagai Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) yang dikeluarkan pasca tahun 1998, tatkala mencoba merumuskan klausul mengenai masyarakat adat. Umumnya, yang memiliki klausul tentang masyarakat adat adalah UU dan RUU yang mengatur mengenai sumberdaya agraria atau sumberdaya alam. Namun Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan revisi KUHP juga memiliki klausul tentang masyarakat adat. Di mata UU Sisdiknas masyarakat adat adalah golongan masyarakat yang berhak memperoleh pendidikan khusus (pasal 5 ayat 3). Sementara revisi UU KUHP mengakui ketentuan hukum adat sebagai hal yang bisa menyimpangi asas legalitas serta memasukan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah jenis pidana tambahan.

Pengaturan yang lebih luas dan dalam dilakukan oleh sejumlah UU dan RUU di bidang sumberdaya agraria dan sumberdaya alam. Sejak tahun 1998, pengaturan mengenai masyarakat adat bisa ditemui dalam sejumlah UU, yakni UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (pasal 93 beserta penjelasannya), UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (pasal 6) dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (pasal 67). Jejak ketiga UU tersebut sedang diikuti oleh sejumlah RUU yang sampai saat ini sedang dalam proses penyusunan dan pembahasan. Sebut saja misalnya RUU tentang Perkebunan, RUU tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, RUU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RUU tentang Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Genetika, revisi UU tentang Pertambangan dan RUU tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam (RUU PSDA). Beberapa waktu lalu pengaturan masyarakat adat dalam RUU PSDA menjadi polemik ketika Menteri Negera Lingkungan Hidup menilai RUU tersebut terlalu memberikan keleluasaan yang besar kepada masyarakat adat.

Rasanya tidak berlebihan bila muncul sejumlah pertanyaan mengusik. Pertama, apa yang melatari gelombang rame-rame mengakui masyarakat adat tersebut? Adakah ia hanya merupakan gejala normatif biasa atau malah sebuah gejala politik atau gejala sosial? Apakah pengaturan demikian lahir hanya karena UUD 1945 hasil amandemen dan Ketetapan MPR sudah mengatur mengenai masyarakat adat? Kedua, bagaimana karakter atau gaya pengakuan yang ditampilkan oleh sejumlah UU dan RUU tersebut? Adakah pengakuan itu meralat kasalahan masa lalu ataukah hanya meneruskan tradisi pengakuan gaya lama?

Terra Nullius, Dekolonisasi dan Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia istilah `masyarakat adat' diartikan sebagai terjemahan dari kata `indigenous peoples'. Banyak orang membedakannya dengan istilah masyarakat hukum adat yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda yakni rechtgemencshap.. Kalangan aktivis Ornop dan organisasi masyarakat adat semacam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memandang istilah `masyarakat hukum adat' pada akhirnya hanya akan mempersempit entitas masyarakat adat sebatas entitas hukum. Sementara istilah masyarakat adat dipercaya memiliki dimensi yang luas dari sekedar hukum. Misalnya dimensi kultural dan religi. Jadi, istilah masyarakat adat dan istilah masyarakat hukum adat memiliki sejarah dan pemaknaan yang berbeda. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik-akademis. Istilah tersebut digunakan untuk memberi identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi hukum sendiri untuk membedakannya dengan golongan Eropa dan Timur Jauh yang memiliki sistem dan tradisi hukum tertulis.

Sedangkan istilah masyarakat adat mengemuka ketika pada awal dekade 90-an berlahiran sejumlah Ornop yang memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Tidak bisa disangkal gerakan yang memperjuangkan isu ini berinsipirasi dari gerakan pembelaan terhadap indigenous peoples di Amerika Latin pada dekade 70-an dan Asia Selatan pada dekade 80-an. Di Indonesia istilah indigenous peoples tidak diterjemahkan menjadi `masyarakat asli', melainkan menjadi masyarakat adat. Penggunaan istilah masyarakat asli tentu saja akan melahirkan polemik yang tajam bahkan mungkin tak berkesudahan. Sedangkan penggunaan istilah masyarakat adat, dari segi pemakaian, dianggap lebih populer. Kendati istilah indigenous peoples diterjemahkan dengan istilah masyarakat adat, namun defenisi masyarakat adat sangat mirip dengan defenisi umum mengenai indigenous peoples. AMAN mendefenisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri. Sedangkan konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States) mengartikan IPs sebagai suku-suku bangsa yang berdiam di negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain. Atau suku-suku bangsa yang telah mendiami sebuah negara sejak masa kolonisasi yang memiliki kelembagaan ekonomi, budaya dan politik sendiri. Sementara Jose Martinez Cobo, yang bekerja sebagai pelapor khusus untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, pada tahun 1981, dalam laporannya yang berjudul Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat, mendefenisikan IPs sebagai kelompok masyarakat atau suku bangsa yang memiliki kelanjutan hubungan sejarah antara masa sebelum invasi dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka, menganggap diri mereka berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Jadi, membincangkan konsep atau gerakan masyarakat adat sebenarnya mirip dengan konsep dan gerakan indigenous peoples (IPs) di Amerika Latin atau di belahan Asia Selatan. Di kedua tempat ini gerakan ini awalnya dilarutkan ke dalam gerakan dekolonisasi. Gerakan memperjuangkan IPs adalah gerakan yang di satu sisi menggugat hak bangsa-bangsa Eropa untuk menaklukan bangsa-bangsa pribumi di benua Amerika dan Asia dan di sisi lain merumuskan argumen-argumen yang menjelaskan bahwa bangsa-bangsa pribumi itu adalah pemilik sah atas wilayah yang didiami dan dikelolanya. Argumen-argumen dasar yang membela hak IPs sebenarnya telah dirintis sejak abd XIV ketika Bartolome de las Casas dan Francisco de Vitoria mengkritik tindakan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Spanyol. De las Casas adalah seoran misionaris Katolik Romawi yang bekerja di wilayah orang-orang Indian. Sedangkan De Vitoria adalah guru besar teologi di Universitas Salamanca. Kedua orang tersebut mempertanyakan legalitas dan moralitas penaklukan bangsa Spanyol atas bangsa-bangsa pribumi di Amerika Selatan. Keduanya membantah doktrin terra nullius sebagai argumen yang membenarkan tindakan penaklukan. Doktrin terra nullius mengatakan bahwa wilayah-wilayah yang disinggahi oleh mereka adalah tanah tak bertuan (terra nullius). Manusia-manusia yang mereka jumpai pada wilayah tersebut dianggap bukan manusia karena belum memiliki peradaban. Dengan argumen tersebut, bangsa penakluk menganggap dirinya memiliki misi untuk memperadabkan bangsa-bangsa pribumi (Hunter, dkk: 1995; Anaya: 1996). Doktrin inilah yang dibantah oleh De las Casas dan De Vitoria dengan mengatakan bahwa IPs memiliki otonomi asli (original autonomous powers) dan hak-hak atas tanah (entitlements to land). Dalam bukunya History of the Indies, De las Casas bahkan memaparkan brutalitas yang dilakukan bangsa Spanyol terhadap suku-suku Indian dengan melakukan pembunuhan massal dan menjadikan mereka sebagai budak.

Dengan demikian perjuangan membela IPs adalah perjuangan meruntuhkan bangun argumen tindakan kolonisasi/penaklukan sekaligus bermaksud untuk menghapuskan kolonisasi. Perjuangan membela IPs bukanlah perjuangan mendapatkan pengakuan dalam rejim pemerintahan kolonial karena kritik awal perjuangan ini justru mempertanyakan pembenaran tindakan kolonisasi. Dalam suasana ini perjuangan untuk mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination) sering ditafsirkan sebagai perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan. Hak untuk menetukan nasib sendiri jenis ini sering juga disebut dengan external self-determination.

Pasca dekolonisasi, konsep dan tuntutan gerakan IPs kemudian bergeser. Ia tidak lagi perjuangan untuk mendorong dekolonisasi tapi telah bergeser menjadi perjuangan untuk medapatkan hak-hak berdemokrasi (right to democracy) sebagai kelompok masyarakat yang hidup dalam sebuah negara bangsa. Begitu juga dengan hak menentukan nasib sendiri telah berubah dari right to self-determination (external self-determination) menjadi right of self-determination. Aktor yang dihadapi bukan lagi regim kolonial tapi rejim otoritarian yang masih mewariskan asumsi dan doktrin di masa kolonialisme.

Perbincangan yang mengarah ke pengakuan IPs semakin maju ketika ia masuk dalam wacana hukum HAM internasional. Derajat humanitas IPs diperbaiki dalam khasanah hukum HAM internasional ketika ia diakui sebagai kategori masyarakat minoritas yang sering menjadi korban tindakan pelanggaran HAM. IPs diakui sebagai sebuah entitas yang harus diakui dan dilindungi. Untuk itu, rejim hukum HAM internasional mengakui beberapa hak asasi IPs. Misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas pembangunan (right to development), hak atas milik, hak hidup, hak atas kesehatan, dan sejumlah hak yang dikenal dalam Konvensi ILO 169 tahun 1989. Pengakuan atas sejumlah hak tersebut sekaligus meralat pandangan kolot yang menuduh IPs sebagai masyarakat tidak beradab (uncivilized society). Jika pada awalnya Konvensi ILO 107 tahun 1957 masih mengasumsikan bahwa IPs akan berkembang menjadi masyarakat modern (integrasi) namun kemudian diralat oleh Konvensi ILO 169 dengan mengatakan bahwa IPs memiliki hak untuk hidup sesuai dengan sistem hukum dan politik yang mereka miliki.

Kendati demikian, progresivitas instrumen hukum HAM internasional banyak disandungi oleh konservatisme negara, terutama negara-negara dunia ketiga. Perjuangan menjadikan isu IPs menjadu agenda pembahasan di PBB dan perjuangan mendirikan sebuah forum permanen di PBB, bukanlah pekerjaan gampang. Bila proses dekolonisasi telah dimulai sejak dekade 40-an maka forum permanen pembahasan IPs baru terbentuk tahun 1982 dengan dilahirkannya Working Groups on Indigenous Populations, yang berada di bawah Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas. Penggunaan kata populations terjadi karena istilah peoples belum diterima oleh mayoritas anggota PBB. Tugas kelompok kerja ini untuk melahirkan Rancangan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak IPs (Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples), sampai saat ini belum kunjung selesai. Salah satu penyebabnya adalah kuatnya resistensi negara-negara dunia ketiga terhadap beberapa hak yang dianggap membahayakan. Misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri. Pencanangan tahun 1993 sebagai tahun IPs dan tahun 1994-2004 sebagai dekade IPs tetap saja tidak berhasil mempercepat penyelesaian rancangan draf deklarasi tersebut padahal tenggat waktu yang diberikan hanya sampai tahun 2004.

Pelanggaran terhadap hak-hak dasar IPs terus saja berlangsung di masa-masa itu kendati di saat bersamaan sejumlah negara terus mengupayakan pemajuan pengakuan terhadap masyarakat adat lewat jalur legislasi dan peradilan. Sejumlah negara di Amerika Latin seperti Venezuela, Mexico, Argentina dan Brazil, mulai memasukan IPs dalam konstitusinya. Beberapa negara mulai menuangkannya ke dalam UU tersendiri seperti Indigenous Peoples Rights Act di Philipina pada tahun 1997 dan Native Title Act di Australia pada tahun 1993. Di samping itu pengakuan lewat UU juga dilakukan kepada kelompok IPs tertentu. Misalnya pengakuan oleh Pemerintah Panama terhadap suku bangsa Kuna pada tahun 1970. Sejumlah pengadilan di beberapa negara juga sudah mulai mengeluarkan putusan yang memenangkan gugatan masyarakat adat atas tindakan pencaplokan oleh pemerintah kolonial dan pemerintah bangsa merdeka sekaligus membantah kesahihan doktrin terra nullius. Di Australia putusan Mahkamah Agung terhadap kasus Kepulauan Murray kepunyaan Orang Aborigin, menjadi tonggak hukum bagi penganuliran doktrin terra bullius selain diundangkannya Native Title Act. Di tingkat internasional, institusi peradilan juga memainkan peran penting, seperti yang dilakukan oleh International Court of Justice pada tahun 1989 yang menghukum pemerintah Australia untuk membayar denda sebesar $A 107 juta atas tindakanya menambang pospat di wilayah Nauru sebelum orang-orang Nauru memperoleh kemerdekaan. Hukuman tersebut didasarkan pada argumen bahwa bangsa Nauru memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Lalu bagaimana dengan situasi di Indonesia pasca dekolonisasi?

Gaya Pengakuan Bersyarat
Setelah menjadi negara merdeka pada tahun 1945, Indonesia berusaha merumuskan pengakuan hukum (baca: perundang-undangan) terhadap masyarakat adat. Sebuah terobosan brilian dilakukan oleh UUD 1945 versi sebelum amandemen. Kendati ketika itu wacana HAM di tingkat internasional belum mendiskusikan isu IPs, UUD 1945 telah membuat pengakuan terhadap masyarakat adat dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunan asli (zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan negeri. Sesuatu yang tidak dilakukan oleh UUD RIS dan UUDS.

Tonggak kedua pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dirumuskan lima belas tahun kemudian saat Undang-Undang No. 5/1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria diundangkan. UUPA mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat dilakukan sepanjang menurut kenyataanya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, UUPA memperkenalkan konsep pengakuan bersyarat, yang kemudian diikuti secara baku oleh peraturan perundangan sesudahnya.

Tonggak atau gelombang pengakuan hukum yang ketiga berlangsung di masa-masa awal Orde Baru ketika diproduksi sejumlah Undang-Undang sektoral seperti UU No. 5/1967 tentang Kehutanan dan UU No. 11/1966 tentang Pertambangan. Kedua UU ini memiliki klausul pengakuan terhadap masyarakat adat namun sepanjang masih ada. UU No. 5/1967 mengaku hak-hak masyarakat adat sepanjang dalam kenyataanya masih ada dan tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan UU tersebut. Gaya ini terus berkembang di masa pemerintahan Orde Baru dan telah menjadi standar pengakuan normatif pada semua instrumen kebijakan. Bila dibuat dalam sebuah rangkuman, perundangan produk Orde Baru mengakui masyarakat adat hanya jika: (1) dalam kenyataanya masih ada: (2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi; dan (4) ditetapkan dengan peraturan daerah. Model pengakuan yang demikian, selain memperkenalkan pengakuan bersyarat juga memperkenalkan pengakuan berlapis. Pendeknya, pengakuan bersyarat yang berlapis. Selain harus memenuhi syarat-syarat sosiologis, politis dan normatif-yuridis namun juga harus memenuhi syarat prosedural (ditetapkan dengan perda). Gaya itulah yang membuat pengakuan hukum tersebut sebenarnya bukan bermaksud memberikan kebebasan dasar pada masyarakat adat melainkan menentukan batasan-batasan.

Gaya itulah yang bisa menjelaskan mengapa pengaturan mengenai pengakuan masyarakat adat atau hak ulayat, di masa pemerintah Orde Baru, tidak pernah operasional. Alih-alih mengkonkritkan rumusan pengakuan tersebut, pemerintah Orde Baru malah merampas tanah-tanah masyarakat adat. 70% kawasan daratan Indonesia dinyatakan sebagai kawasan hutan dengan asumsi tidak ada atau tidak boleh satu kelompok masyarakat adatpun yang berdiam dan berladang di kawasan tersebut bila tidak mendapat izin dari pemerintah. Tiba-tiba masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan tersebut dikualifikasi sebagai perambah hanya dengan cara menerbitkan SK Menteri mengenai penetapan kawasan. Penetapan tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa kawasan itu adalah hutan yang kosong (empty forest) atau paling tidak harus dianggap kosong. Bila didapati sekelompok masyarakat adat berdiam atau berladang di kawasan tersebut maka mereka harus diusir atau dipindahkan ke luar kawasan hutan. Itulah yang dialami oleh Orang Moronene di Sulawesi Tenggara yang dipaksa pindah dari kawasan Taman Nasional Rawa Opa. Begitu juga perlakuan terhadap Orang Katu dan Lindu yang tinggal di dalam Taman Nasional Lore Lindu (Sulteng). Orang Mentawai yang tinggal di kawasan Taman Nasional Mentawai serta Orang Rimba yang berdiam di dalam Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Jambi&Riau). Departemen Sosial memaksa mereka untuk pindah lewat proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Pendeknya, di bahwa pemerintahan Ode Baru, sekitar 80 juta jiwa masyarakat adat mendapat perlakuan kekerasan dan diskriminasi yang sistematis dan meluas.

Lalu bagaimana pengakuan terhadap masyarakat adat pasca bubarnya rejim Orde Baru? Setelah menunggu 55 tahun, pada tahun 2000 dilakukan amandemen yang kedua terhadap UUD 1945 yang menghasilkan klausul baru yang mengatur mengenai masyarakat adat. Dikatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Gaya pengaturan dan pengakuan yang serupa juga dilakukan oleh Tap. MPR/1998 tentang HAM dan UU No. 39/1999 tentang HAM. Itu juga yang ditirukan oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Inilah gelombang keempat pengakuan hukum terhadap masyarakat adat sesudah Indonesia menjadi bangsa merdeka. Gaya yang membuat UUD 1945 hasil amandemen dalam sisi tertentu membuat kemunduran dibanding sebelum amandemen.

Pengakuan bersyarat yang berlapis ini kemudian rame-rame ditirukan oleh berbagai RUU yang sekarang lagi disusun dan dibahas. Tengoklah RUU Perkebunan dan RUU Pengelolaan Sumberdaya Air. Keduanya mengakui masyarakat adat dan hak ulayatnya sepanjang menurut kenyataanya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional serta dikukuhkan lewat peraturan daerah. Jadi, bila dibuat rangkuman maka pengakuan hukum pasca pemerintah Orde Baru terhadap masyarakat adat dan hak-haknya dilakukan sepanjang: (1) dalam kenyataanya masih ada; (2) selaras dengan perkembangan zaman; (3) sesuai dengan kepentingan nasional; dan (4) dikukuhkan dengan peraturan daerah. Kendati UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam mencoba merumuskan pengakuan tanpa syarat, namun gaya pengakuan terhadap masyarakat adat sesudah tahun 1998 tidak memiliki perbedaan mendasar dengan gaya pengakuan Orde Baru.

Bagi kita, gaya ini memunculkan sikap sinisme terhadap gelombang rame-rame mengakui masyarakat adat. Gelombang itu agaknya tidak sedang mengusung dan mengungkapkan sebuah kesadaran baru. Ia bisa kita maknai dengan dua cara, yakni: pertama, mewariskan ideologi tua yang melabeli masyarakat adat sebagai masyarakat tak beradab yang harus difasilitasi untuk menjadi masyarakat beradab. Dengan asumsi ini, masyarakat adat bukanlah subyek yang memiliki kemampaun budaya untuk mengurus alam. Sebuah ideologi yang sebenarnya sudah hidup dalam konsep domeinverklaring yang dilekatkan dalam Agrarische Wet tahun 1870 dan diwariskan oleh rejim Orde Baru. Kedua, ia tidak lebih dari tindakan picisan yang hanya dilatari oleh semangat ikut trend.

Sebenarnya gaya yang tetap dianut oleh Indonesia tersebut masih merupakan cerminan dari arus utama pandangan dunia terhadap masyarakat adat hingga kini. Gaya yang menyimpan sikap kehati-hatian sekaligus kekawatiran. Kawatir bila pengakuan terhadap masyarakat adat akan menggerus kedaulatan negara atau akan mengancam keutuhan bangsa karena keinginan untuk memisahkan diri. Itu sebabnya jauh-jauh Konvensi ILO 169 sudah mengatakan bahwa penggunaan terma bangsa (peoples) dalam konvensi tersebut tidak berimplikasi pada hak untuk menentukan nasib sendiri. Kekawatiran itu pula yang mendasari mengapa Indonesia memasang syarat berlapis dalam mengakui masyarakat adat. Politik pengakuan bergaya seperti itu membuat perjuangan membela hak-hak masyarakat adat selalu kental dengan tuntutan untuk mendapatkan pengakuan tanpa syarat, yang dalam konsep terkini disebut dengan pengukuhan.

*) Penulis adalah Koordinator Program Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jakarta.

Tidak ada komentar: