Senin, April 28, 2008

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

Bahwa PDI Perjuangan merupakan partai politik yang sebenarnya adalah partai yang secara langsung memiliki tali kesejarahan dengan partai politik masa orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari hasil fusi 5 (lima) partai politik. Kelima partai politik tersebut antara lain :

1. Partai Nasional Indonesia (PNI)

PNI didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat dalam waktu singkat. Karena dianggap berbahaya oleh penguasa kolonial, tanggal 29 Desember 1929 semua kantor dan rumah pimpinan PNI digeledah. Bung Karno, Maskun, Supriadinata dan gatot mangkupraja ditangkap. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan Raad van Justitie tanggal 17 April 1931, mereka dipidana penjara. Keputusan ini diartikan mencap PNI sebagai suatu organisasi yang terlarang.

Setelah tanggal 3 November 1945 keluar Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Partai Politik. Dengan landasan tersebut, tanggal 29 Januari 1946 di Kediri PNI dibentuk oleh partai-partai yang tergabung dalam Serikat Rakyat Indonesia atau di kenal dengan Serrindo pada waktu itu, PNI Pati, PNI Madiun, PNI Palembang, PNI Sulawesi, kemudian Partai Republik Indonesia Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat Yogya, dan ada beberapa lagi partai kecil lainnya yang berada di Kediri. Fusi ini terjadi ketika ada Konggres Serrindo yang pertama di Kediri. Dalam Kongres tersebut PNI dinyatakan memiliki ciri Sosio-Nasionalisne-Demokrasi yang merupakan asas dan cara perjuangan yang dicetuskan Bung Karno untuk menghilangkan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Pengunaan asas ini diasosiasikan sebagai "kebangkitan kembali PNI 1927" yang pernah didirikan Bung Karno.

Ideologi partai ini menggunakan apa yang dikembangkan oleh Bung Karno yaitu Marhaenisme, sebuah istilah yang di bangun atau dipakai oleh beliau ketika beliau melakukan kunjungan ke salah satu daerah di Jawa Barat dan bertemu dengan seorang petani yang namanya Marhaen.

PNI merupakan partai pemenang pemilu nomor satu dalam pemilu tahun 1955 dengan komposisi suara kurang lebih 22,3%. Basis sosial dari partai ini pertama-tama adalah masyarakat abangan di Jawa. Kekuatan mobilisasi terletak pada penguasaan atas birokrasi dan yang kedua adalah para pamong praja, lurah dan para kepala desa. Ini menjelaskan kenapa Golkar mengambil alih itu, PNI ambruk secara total. Ketika dukungan cukup merata menyebar di seluruh Indonesia, ketika di beberapa propinsi yang sangat terbatas seperti di Aceh, Sumatra Barat, dimana pendukung PNI itu jumlahnya kurang dari 0,7%. Di kawasan Jawa di bagian sebelah utara Bandung PNI tidak pernah mendapatkan basis dukungan yang kuat. Itu merupakan daerah Islam atau daerah Masyumi. Di Bandung daerah selatan itu merupakan kantong utama. Jawa Tengah adalah kantong-kantong utama, dan kontestan yang paling serius itu datang dari Partai Komunis Indonesia yang berada di beberapa daerah segitiga seperti Jelanggur dan seterusnya. Blitar bagian selatan dan sebagainya.

2. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

Parkindo adalah partai yang didirikan karena ada maklumat pada waktu itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18 November 1945 yang diketuai Ds Probowinoto. Parkindo merupakan penggabungan dari partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia) di Sumut, PKN (Partai Kristen Nasional) di Jakarta dan PPM (Partai Politik Masehi) di Pematang Siantar.

3. Partai Katolik

Partai Katolik lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan nama PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) merupakan kelanjutan dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik. Sebenarnya partai ini pada tahun 1917-an itu sudah ada. Partai ini berdiri pada tahun 1923 di Yogyakarta yang didirikan oleh umat Katolik Jawa yang diketuai oleh F.S. Harijadi kemudian diganti oleh I.J. Kasimo dengan nama Pakepalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Pada Pemilu 1971 Partai Katolik meraih 606.740 suara (1,11%) sehingga di DPR mendapat 3 kursi.

4. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia adalah partai yang didirikan terutama oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirnya. Tokoh dibalik pendirian IPKI adalah AH. Nasution, Kol Gatot Subroto dan Kol Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu 1955. Dalam pemilu itu anggota ABRI aktif dapat dipilih melalui pemilu dan duduk di Konstituante.

IPKI didirikan pada tanggal 20 Mei 1954 kurang lebih satu tahun sebelum pemilu tahun 1955 yang berlangsung bulan September. Waktu itu, Jenderal Besar Nasution yang berpangkat kolonel, terlibat pada peristiwa yang sangat terkenal yaitu peristiwa 27 Oktober.

Peristiwa 27 Oktober ini adalah sebuah peristiwa dimana tentara melakukan upaya untuk memaksa Bung Karno membubarkan parlemen. Mereka datang ke istana, gerombolan tentara yang sangat banyak dengan tank, meriam diarahkan ke depan istana, dan meminta kepada Bung Karno untuk membubarkan parlemen, karena parlemen dianggap telah mengintervensi persoalan internal tentara. Nasution dipanggil, usianya baru 33 tahun dan disuruh kembali untuk memikirkan tindakannya, di copot jabatannya, antara Oktober 1952 sampai nantinya dia dikembalikan pada jabatannya pada tahun 1955. Selama tiga tahunan itu Nasution berfikir sangat serius. Bung Karno tidak bisa dilawan. Diantara tahun-tahun inilah Nasution kemudian mendirikan IPKI.

Dalam pertemuan sangat tertutup antara wakil IPKI dengan Soeharto pada tahun 1971. Dua tokoh IPKI yang besar atau salah satu tokoh IPKI yang besar, mantan Bupati Madiun, Achmad Sukarmadidjaja almarhum, mengatakan bahwa IPKI tidak mungkin hidup di dalam gerombolan partai-partai yang punya ideologi aneh-aneh dan ingin bergabung dengan golongan karya atau menjadi partai sendiri.

Kedekatan dengan Golkar, menjelang Deklarasi PDI 1973 IPKI pernah berpikir untuk bergabung ke Golkar. Tanggal 12 Maret 1970 Presiden Soeharto memberi jawaban atas permintaan Achmad Sukarmadidjaja bahwa IPKI bisa bergabung ke Golkar dengan syarat harus membubarkan diri lebih dahulu. IPKI cukup spesifik dan memiliki dukungan yang konkrit menurut pemilu 1955 kecuali sedikit di Jawa Barat, demikian juga dengan Murba. Hanya memiliki dukungan yang sangat sedikit di Jawa Barat kurang lebih 290.000-an orang. Pada Pemilu 1971 IPKI hanya mampu memperoleh 388.403 (0,62 %) sehingga tidak mendapat satupun kursi di DPR.

5. Murba

Murba didirikan pada tanggal 7 November 1948 setelah Tan Malaka keluar dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka.

Menurut data Kementrian Penerangan RI tentang "Kepartaian di Indonesia" seri Pepora No. 8, Jakarta, 1981, istilah Murba mengacu pada pengertian "golongan rakyat yang terbesar yang tidak mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri". Asas partai ini antifasisme, anti imperialisme-kapitalisme dengan tujuan akhirnya mewujudkan masyarakat sosialisme.

Meski program Murba membela rakyat kecil dan kaum tertindas, dukungan riil rakyat terhadap Murba kurang begitu kuat. Terbukti dalam Pemilu 1971 partai ini tidak memperoleh satu pun kursi di DPR karena hanya mampu meraih 48.126 suara (0,09 %).

Proses fusi terjadi sebenarnya hanya untuk menjamin kemenangan kekuatan Orde Baru. Pada saat itu penguasa Orde Baru mengaktifkan Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) yang proses pembentukannya didukung oleh militer. Tap MPRS No.XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan disebutkan agar Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong (DPR-GR) segera membuat Undang-Undang untuk mengatur kepartaian, keormasan dan kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan.

Gagasan agar supaya fusi untuk pertama kali tahun 1970. Tepatnya 7 Januari tahun 1970. Soeharto memanggil 9 partai politik untuk melakukan konsultasi kolektif dengan para pimpinan 9 partai politik tersebut. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan partai politik dengan maksud untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih tentram lebih damai bebas dari konflik agar pembangunan ekonomi bisa di jalankan. Partai politik dikelompokan ke dalam dua kelompok, kelompok pertama disebut kelompok materiil spirituil yang menekankan pada aspek materiil dan kedua adalah spirituil materiil yang menekankan pada aspek spiritual. Kelompok materiil spirituil menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok spirituil materiil itu kemudian menjadi Partai Persatuan pembangunan.
Setelah diskusi-diskusi seperti itu tokoh-tokoh partai coba mulai bertemu dan mulai mendiskusikan gagasan ini. Pertemuan kemudian berlanjut pada tanggal 27 Februari 1970 Soeharto mengundang lima partai politik yang dikategorikan kelompok pertama yaitu PNI (Partai Nasiona Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan Murba. Ide pengelompokan yang dilontarkan Soeharto menjadi perhatian masyarakat umum dan ditengah-tengah proses pengelompokan tersebut berkembang rumor yang sangat kuat isu pembubaran partai-partai politik jika tidak dicapai kesepakatan untuk mengadakan pengelompokan sampai batas waktu 11 Maret 1971. Karena partai sangat lamban, mulai muncul gerakan di sejumlah daerah yang paling terkenal adalah di Jawa Barat. Panglima daerah di Jawa Barat pada waktu adalah Jenderal Darsono melakukan buldoser secara besar-besar ke partai di Jawa Barat. Muncul gagasan tentang dwi partai. Partai yang cuma dua di Indonesia. Dan korban paling utama pada waktu itu adalah Partai Nasional Indonesia.

Pada tanggal 7 Maret 1970 bertempat di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar di Jalan Teuku Umar No. 5 Jakarta, lima tokoh Partai yang hadir yaitu Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja (IPKI), Maruto Nitimihardjo dan Sukarni (Murba), VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo), mengadakan pertemuan dan pembicaraan mengenai pengelompokan partai. Dalam pertemuan tersebut, muncul kekhawatiran terjadinya polarisasi antara kelompok Islam dan non-Islam, oleh karenanya muncul gagasan sebagai alternatif untuk mengelompokan partai menjadi lima atau empat kelompok yang terdiri dari dua kelompok muslim, satu nasionalis, satu kristen dan satu kelompok karya. Namun pemerintah Orde Baru saat itu tetap menginginkan pengelompokan sesuai yang diajukan sebelumnya hingga akhirnya gagasan yang diusulkan oleh tokoh-tokoh tersebut tidak pernah terwujud.

Pada tanggal 9 Maret 1970 pertemuan pimpinan lima partai tersebut berlanjut ditempat yang sama dengan agenda pokok yaitu penyelesaian deklarasi atau pernyataan bersama dan pokok-pokok pikiran selanjutnya. Dalam pertemuan ini berhasil membentuk tim perumus yang terdiri dari Mh. Isnaeni, M Supangat, Murbantoko, Lo Ginting dan Sabam Sirait. Tim perumus menghasilkan "Pernyataan Bersama" yang ditanda tangani oleh ketua partai masing-masing, yakni Hardi (PNI), M Siregar (Parkindo), VB Da Costa (Partai Katolik), achmad sukarmadidjaja (IPKI) dan Sukarni (Murba).

Pada tanggal 12 Maret 1970 kembali dilakukan pertemuan dengan Presiden Soeharto yang didampingi oleh Brigjen Sudjono Humardani dan Brigjen Sudharmono. Dari pihak partai politik hadir Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja dan M Supangat (IPKI), Maruto Nitimihardjo (Murba), VB Da Costa dan Lo Ginting (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo).

Pada tanggal 24 Maret 1970 para pemimpin parpol tersebut kembali melakukan pertemuan di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk memperjelas keberadaan kelompok yang telah dibentuk, baik nama, sifat, pengorganisasian dan program. Hasil pertemuan tersebut akhirnya disepakati nama "Kelompok Demokrasi Pembangunan" dan dikukuhkan melalui SK No. 42/KD/1972, tanggal 24 Oktober 1972. Meskipun sebelumnya banyak muncul usulan-usulan nama yang diajukan oleh masing-masing partai, antara lain oleh Lo Ginting (Partai Katolik) yang mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi Kesejahteraan" atau "Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan". Maruto Nitimihardjo (Murba) mengusulkan nama "Kelompok Gotong-Royong", karena kata "gotong royong" dianggap merupakan perasaan pancasila dan dapat menghindari polarisasi. Usep Ranawidjaja (PNI) keberatan karena bisa ditafsirkan dan dikaitkan dengan Orde Lama. M Supangat (IPKI) mengusulkan dibentuk "Badan Kerjasama" sebagai sifat pengelompokan yang dinamakan "Kelompok Pembangunan". Sabam Sirait (Parkindo) mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi dan Pembangunan" atau "Kelompok Sosial Demokrat".

Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 tepat jam 24.00 dalam pertemuan Majelis Permusyawaratan Kelompok Pusat (MPKP) yang mengadakan pembicaraan sejak jam 20.30 di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, Kelompok Demokrasi dan Pembangunan melaksanakan fusi 5 Partai Politik menjadi satu wadah Partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia meskipun pada awal fusi sebenarnya muncul 3 (tiga) kemungkinan nama untuk fusi menjadi :

1. Partai Demokrasi Pancasila
2. Partai Demokrasi Pembangunan
3. Partai Demokrasi Indonesia

Deklarasi ditandatangani oleh wakil kelima partai yaitu MH. Isnaeni dan Abdul Madjid mewakili Partai Nasional Indonesia, A. Wenas dan Sabam Sirait Mewakili Partai Kristen Indonesia, Beng Mang Rey Say dan FX. Wignyosumarsono mewakili Partai Katolik, S. Murbantoko R. J. Pakan mewakili Partai Murba dan Achmad Sukarmadidjaja dan Drs. Mh. Sadri mewakili Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Dengan dideklarasikannya fusi kelima partai tersebut, maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia.

Setelah deklarasi fusi tersebut, selanjutnya untuk memenuhi poin 3 Deklarasi fusi, dibentuk tim penyusun Piagam Perjuangan, AD/ART, struktur organisasi dan prosedur yang diperlukan melaksanakan fusi tersebut. Tim yang dikenal sebagai Tim 10 itu semula diketuai Sunawar Sukowati (PNI) tapi kemudian diganti Sudjarwo (PNI) karena penugasan Sunawar sebagai duta besar.

Pada tanggal 13 Januari 1973 Majelis Pimpinan Partai (MPP) terbentuk, Sabtu 14 Januari 1973 jam 01.20 pagi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berhasil menyusun struktur dan personalia Dewan Pimpinan Pusat sampai terselenggaranya Kongres Nasional. Susunan kepengurusan DPP PDI sebagai berikut :

I. MAJELIS PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 25 orang) :

II. DEWAN PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 11 orang)

DPP PDI bersama Tim 10 pada tanggal 8-10 Juni 1973 di Cibogo Bogor berhasil menyelesaikan AD/ART PDI dan telah disahkan dalam rapat DPP PDI tanggal 26 Juli 1973 serta dikukuhkan dalam rapat MPP PDI di kediaman hasyim Ning pada tanggal 4 Agustus 1973. Sementara Piagam dan Program Perjuangan Partai dikukuhkan dalam rapat MPP PDI tanggal 19-20 September 1973.
Untuk memenuhi poin 4 Deklarasi Fusi, kelima partai yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba mengadakan forum internal masing-masing partai. PNI menyelenggarakan Munas tanggal 27-28 Januari 1973 di Jakarta yang memutuskan bahwa masalah fusi dengan partai-partai lain tidak dipersoalkan dan menyetujui kebijakan DPP PNI dalam menghadapi fusi. Parkindo mengadakan Sidang Dewan Partai VII yang diperluas pada tanggal 8-10 Juli 1973 di Sukabumi hasilnya menyetujui kebijakan DPP Parkindo berfusi dalam PDI. Partai Katolik melaksanakan Sidang Dewan Partai yang diperluas pada tanggal 25-27 Februari 1973 di Jakarta dan hasilnya menyetujui kebijakan DPP untuk berfusi. IPKI melaksanakan Musyawarah Dewan Paripurna Nasional IV di Tugu-Bogor pada tanggal 25-27 mei 1973 dan Murba melaksanakan Sidang Dewan Partai pada tanggal 1-3 Agustus 1973 yang masing-masing menyetujui kebijakan DPP nya untuk berfusi.

Terbentuknya DPP diiringi terbentuknya kepengurusan Cabang (kepengurusan tingkat kabupaten) sebanyak 154 Cabang. Tahun 1974 kepengurusan Cabang bertambah 77 Cabang, tahun 1975 bertambah 20 Cabang, tahun 1976 bertambah 6 Cabang.

Musyawarah nasional adalah bentuk pertemuan besar PDI yang pertama pasca fusi. Setelah mendapat restu Presiden Soeharto tanggal 18 Juni 1973 dan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 19 Juni 1973, DPP PDI melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas). Dalam praktik, Munas I ini mengambil nama "Konpernas" (Konsultasi dan Penataran Nasional) di Jakarta tanggal 20-24 september 1973. Konpernas dihadiri utusan Dewan Pimpinan Daerah (DPD), MPP, Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu), Anggota Fraksi PDI di DPR, dan tokoh-tokoh Pemerintah seperti mayjen Ali Murtopo, Mayjen Subiyono (Wakil Dephankam), JB sumarlin (Wakil Bappenas), Mayjen Sunandar (Wakil Mendagri), Sulaiman (Wakil Menlu) dan Prof Sunario (Wakil Dewan Harian Angkatan 1945).

Kongres I PDI berlangsung dari tanggal 12 - 13 April 1976. Pelaksanaan Kongres I ini sempat tertunda-tunda akibat adanya konflik internal. Di dalam Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat, pemerintah memplot Sanusi Hardjadinata agar terpilih. Dan hasilnya Sanusi Hardjadinata terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI. Susunan DPP hasil Kongres I yang susunan personalianya sudah disempurnakan atas kesepakatan antara Mh Isnaeni dan Sunawar.

Kepengurusan tersebut karena adanya konflik diantara pengurus DPP, maka pada tanggal 16 Januari 1978, susunan DPP PDI hasil penyelesaian politik bersama Bakin.

Kongres II dilaksanakan pada tahun 1981 di Jakarta, meskipun ada penolakan dari "Kelompok Empat" (Usep, Abdul Madjid, Walandauw dan Zakaria Ra'ib) yang mengajukan keberatan atas penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah. Namun Kongres II PDI tetap berlangsung pada tanggal 13-17 Januari 1981 mengambil tema : "Dengan Menggalang Persatuan dan Kesatuan Dalam Rangka Memantapkan Fusi, Meningkatkan Peranan dan Partisipasi PDI Untuk Mensukseskan Pembangunan".

Di dalam Kongres II ini campur tangan pemerintah semakin kuat. Meskipun ada keberatan terhadap pelaksanaan Kongres tersebut, Kongres II PDI tetap berjalan. Pemerintah tetap mengizinkan penyelenggaraan Kongres tersebut dan Presiden Soeharto yang membuka acara Kongres II PDI.

Di dalam Kongres II PDI menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara partai-partai pendukung PDI yang berkonflik. Kongres II PDI akhirnya menyepakati bahwa fusi telah tuntas.

Pasca Kongres II PDI konflik internal masih terjadi yaitu perselisihan antara Hardjanto dengan Sunawar. Kelompok hardjanto mendesak diselenggarakannya Kongres Luar Biasa sedangkan Kubu Sunawar hanya menghendaki Munas. Kubu Sunawar menginginkan Kongres III PDI diselenggarakan setelah pemilu 1987, sementara kubu Hardjanto menginginkan sebelum Pemilu. Akhirnya Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu yaitu pada tanggal 15-18 April 1986 di Wisma haji Pondok Gede, Jakarta. Kongres III dapat diselenggarakan karena Sunawar Soekawati meninggal dunia. Di dalam Kongres ini semaki menegaskan kuatnya ketergantungan PDI pada Pemerintah. Kongres III PDI gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah. Pada waktu itu yang berperan adalah Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Benny Moerdani dan Menteri Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono.

Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan. Kongres IV PDI diselenggarakan tanggal 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara dengan peserta sekitar 800 orang. Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro, kemudian muncul nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta.

Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung Pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum didukung penuh oleh Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan.

Kongres IV PDI di Medan dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar. Namun beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang para demonstran yang dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos masuk ke arena sidang Kongres namun dihadang satuan Brimob. Acara tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi sebagai Ketua Umum, namun belum sampai penyusunan kepengurusan suasana Kongres kembali ricuh karena aksi demonstrasi yng dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres. Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui mendagri Yogie S Memed mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI jatim pada tanggal 25-27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI .

Setelah gagalnya Kongres IV PDI yang berlangsung di Medan, muncul nama Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh warga PDI untuk tampil menjadi Ketua Umum. Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI. Dukungan tersebut muncul dari DPC berbagai daerah yang datang kekediamannya pada tanggal 11 September 1993 sebanyak lebih dari 100 orang yang berasal dari 70 DPC. Mereka meminta Megawati tampil menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.

Dukungan terhadap Megawati semakin kuat dan semakin melejit dalam bursa calon Ketua Umum DPP PDI. Muncul kekhawatiran Pemerintah dengan fenomena tersebut. Pemerintah tidak ingin Megawati tampil dan untuk menghadang laju Megawati ke dalam bursa pencalonan Ketua Umum, dalam acara Rapimda PDI Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1993 yang diadakan dalam rangka persiapan KLB muncul larangan mendukung pencalonan Megawati.

Kendati penghadangan oleh Pemerintah terhadap Megawati untuk tidak maju sebagai kandidat Ketua Umum sangat kuat, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi hingga akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto.

Untuk menyelesaikan konflik PDI, beberapa hari setelah KLB, Mendagri bertemu Megawati, DPD-DPD dan juga caretaker untuk menyelenggarakan Munas dalam rangka membentuk formatur dan menyusun kepengurusan DPP PDI. Akhirnya Musyawarah Nasional (Munas) dilaksanakan tanggal 22-23 Desember 1993 di Jakarta dan secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI. Dalam Munas ini dihasilkan kepengurusan DPP PDI periode 1993-1998.

Berakhirnya Munas ternyata tidak mengakhiri konflik internal PDI. Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle walau tidak diakui oleh Pemerintah namun kegiatannya tidak pernah dilarang. Disamping itu kelompok Soerjadi sangat gencar melakukan penggalangan ke daerah-daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan menggelar Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil dirangkulnya untuk menggelar Kongres.

Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri menolak tegas diselenggarakannya "Kongres", kemudian pada tanggal 5 Juni 1996, empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak Kongres.

Kelompok Fatimah Achmad yang didukung oleh Pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada tanggal 2-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan dengan didukung penjagaan yang sangat ketat dari aparat keamanan lengkap dengan panser. Pagar Asrama Haji tempat kegiatan berlangsung ditinggikan dengan kawat berduri setinggi dua meter. Disamping itu di persimpangan jalan dilakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk terhadap orang-orang yang melintas.

Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati demonstrasi secara besar-besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres rekayasa yang diselenggarakan oleh kelompok Fatimah Achmad, demontrsi itu berakhir bentrok dengan aparat dan saat ini dikenal dengan "Peristiwa Gambir Berdarah".

Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres Medan, namun Pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu tahun 1997. Tanggal 25 Juli 1996 Presiden Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin oleh Soerjadi selaku Ketua Umum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal. Hal ini semakin membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok.

Masa pendukung Megawati mengadakan "Mimbar Demokrasi" dihalaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga pada tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu oleh ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa "Sabtu Kelabu 27 Juli" yang banyak menelan korban jiwa.

Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurusnya masih tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan dibawah pantauan Pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati melalui Pesan Hariannya menyatakan bahwa PDI dibawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI. Pemilu 1997 diikuti oleh PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena hasil Pemilu PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.

Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan Megawati.Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca Lengsernya Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan Megawati semakin kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.

Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali. Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar negara sahabat. Kongres ini disebut dengan "Kongres Rakyat". Karena selama kegiatan Kongres berlangsung dari mulai acara pembukaan yang diselenggarakan di lapangan Kapten Japa, Denpasar sampai acara penutupan Kongres, jalan-jalan selalu ramai dipadati warga masyarakat yang antusias mengikuti jalannya Kongres tersebut.

Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi.

Didalam Kongres tersebut, Megawati diberi kewenangan khusus untuk mengambil langkah-langkah organisatoris dalam rangka eksistensi partai, NKRI dan UUD 1945, kewenangan tersebut dimasukan di dalam AD-ART PDI. Meskipun pemerintahan sudah berganti, namun yang diakui oleh Pemerintah adalah masih tetap PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. Oleh karenanya agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal, kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istoran Senayan Jakarta.

Pemilu tahun 1999 membawa berkah bagi PDI Perjuangan, dukungan yang begitu besarnya dari masyarakat menjadikan PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153 orang. Dalam perjalananya kemudian, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid yang terpilih didalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden Republik Indonesia Ke - 4.

Untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI menjadi PDI Perjuangan, pengurus DPP PDI Perjuangan memutuskan melaksanakan Kongres I PDI Perjuangan meskipun masa bakti kepengurusan DPP sebelumnya baru selesai tahun 2003. Salah satu alasan diselenggarakannya Kongres ini adalah untuk memantapkan konsolidasi organisasi Pasca terpilihnya Megawati sebagai Wakil Presiden RI.

Kongres I PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 27 Maret - 1 April 2000 di Hotel Patra Jasa Semarang-Jawa Tengah. Menjelang Kongres I PDI Perjuangan, sudah muncul calon-calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, nama yang muncul antara lain Dimyati Hartono yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan, kemudian muncul pula nama Eros Jarot yang sempat menggalang DPC-DPC untuk mendukungnya. Di dalam pemandangan umum Cabang-Cabang, dari 243 DPC, hanya 2 DPC yang mengusulkan nama lain yaitu DPC Kota Jayapura dalam pemandangan umumnya mengusulkan 3 orang calon Ketua Umum yaitu Megawati, Dimyati Hartono dan Eros Jarot, kemudian DPC Kota Banjarmasin mengusulkan Eros Jarot sebagai KetuanUmum DPP PDI Perjuangan.

Kongres I PDI Perjuangan akhirnya menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.

Setelah Kongres I PDI Perjuangan tahun 2000, pada tahun 2001 Megawati diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Ke - 5 menggantikan KH Abdurahman Wahid yang diturunkan dalam Sidang Istimewa MPR-RI. Diangkatnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke - 5 membawa perubahan pada sikap politik PDI Perjuangan dan cap sebagai partai penguasa melekat di PDI Perjuangan.

Meski sebagai partai penguasa, PDI Perjuangan ternyata tidak mampu meraih kemenangan di dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004. PDI Perjuangan hanya mampu memperoleh suara diurutan kedua dengan 109 kursi di DPR.

Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 28 - 31 Maret 2005 di Hotel Grand Bali Beach, Denpasar Bali, tempat dimana Kongres V PDI diselenggarakan pada tahun 1998. Kongres ini selesai 2 hari lebih cepat dari yang dijadwalkan yaitu 28 Maret - 2 April 2005.

Menjelang Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan, sudah banyak muncul nama-nama yang akan maju sebagai calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan antara lain Guruh Soekarnoputra yang digagas oleh Imam Mundjiat Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Timur, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan.

Masing-masing calon tersebut giat melakukan penggalangan kekuatan di daerah. Disamping itu kelima calon tersebut beberapa kali mengadakan pertemuan-pertemuan di beberapa hotel di Jakarta salah satunya pertemuan di Sahid Jaya Hotel. Di kemudian hari kelima calon ini bergabung menjadi satu dalam satu wadah yang dinamakan "Kelompok Gerakan Pembaruan PDI Perjuangan" yang mengusung satu nama calon Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yaitu Guruh Sukarno Putra.

Di dalam sidang paripurna pertama, sidang sempat ricuh saat pembahasan tata tertib yang diikuti beberapa peserta walk out dari arena sidang. Namun sidang paripurna tetap berlangsung setelah Ir. Sutjipto selaku pimpinan sidang mengajukan penawaran kepada peserta yang menolak Pasal 7 tata tertib untuk berdiri dan yang menyetujui tetap duduk, ternyata dari 1822 peserta hanya beberapa orang yang berdiri dan sidang dilanjutkan kembali.

Kongres II PDI Perjuangan akhirnya berakhir pada tanggal 31 Maret 2005 setelah Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum terpilih karena seluruh peserta dalam pemandangan umumnya mengusulkan Megawati menjadi Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2005-2010. Susunan pengurus DPP PDI Perjuangan hasil Kongres II PDI Perjuangan sebagai berikut :


Ketua Umum






: Megawati Soekarnoputri











Sekretaris Jendral







: Ir. Pramono Anung W.











Wakil Sekjen Bidang Internal







: Mangara M. Siahaan

Wakil Sekjen Bidang Eksternal







: Agnita Singedekane Irsal

Wakil Sekjen Bidang Fungsi Pemerintahan







: Sutradara Gintings

Bendahara : Philip Widjaja

Wakil Bendahara Bidang Dana
: Daniel Budi Setiawan
Wakil Bendahara Bidang Inventarisasi Kekayaan
: NGA. Sukma Dewi Djakse

Bidang Internal

Ketua Bidang Politik dan Pemenangan Pemilu
: Tjahjo Kumolo
Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi
: Suwarno
Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi
: Alexander Litaay
Ketua Bidang Sumberdaya dan Dana
: Murdaya Poo
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat & Media
: Panda Nababan

Bidang Eksternal

Ketua Bidang Pemuda Mahasiswa & Olahraga
: Maruarar Sirait
Ketua Bidang Buruh Tani & Nelayan
: Jacob Nuwawea
Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
: Guruh Soekarno Putra
Ketua Bidang Usaha Kecil Menengah & Koperasi
: Ir. Mindo Sianipar
Ketua Bidang Agama & Kerohanian
: Prof. Dr. Hamka Haq
Ketua Bidang Organisasi Kemasyarakatan
: Dudhie Makmun Murod
Ketua Bidang Informasi & Komunikasi
: Ir. Daryatmo Mardiyanto
Ketua Bidang Lingk Hidup & Pengabdian Masyarakat
: Sonny Keraf

Bidang Fungsi Pemerintahan

Ketua Bidang Keamanan dan Pertahanan
: Theo Syafei
Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat
: Adang Ruchiyatna
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan
: Ir. Emir Moeis
Ketua Bidang Luar Negeri
: Dr. Arief Budimanta
Ketua Bidang Dalam Negeri / Otonomi Daerah
: Ir. Sutjipto
Ketua Bidang Hukum & Hak Azasi Manusia
: Firman Jaya Daeli

Pada tanggal 25 April 2005, kepengurusan DPP PDI Perjuangan hasil Kongres II PDI Perjuangan dilaporkan ke Departenmen Kehakiman dan HAM dan pada tanggal 30 Mei 2005 Menteri Hukum dan HAM menerbitkan surat keputusan nomor : M-01.UM.06.08 Tahun 2005 yang menerima perubahan kepengurusan dan AD-ART hasil Kongres tersebut

Partai Golongan Karya

Pada tahun 1964 untuk menghadapi kekuatan PKI dan Bung Karno, golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.

Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber GOLKAR, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.

Pada awal pertumbuhannya, Sekber GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi diantara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan

Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.

Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.

Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya survive di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.

Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.

September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).

Setelah [[Peristiwa G30S]] maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.

Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.

Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis.

Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa.

Peraturan Monoloyalitas

Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.

Ketua Umum DPP Golkar

Sabtu, April 26, 2008

MENYONGSONG BERAKHIRNYA ABAD MASYARAKAT ADAT: RESISTENSI PENGAKUAN BERSYARAKAT

Oleh: Rikardo Simarmata*

`Rame-rame mengakui keberadaan masyarakat adat'. Itulah judul yang paling tepat untuk menggambarkan tingkah laku berbagai Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) yang dikeluarkan pasca tahun 1998, tatkala mencoba merumuskan klausul mengenai masyarakat adat. Umumnya, yang memiliki klausul tentang masyarakat adat adalah UU dan RUU yang mengatur mengenai sumberdaya agraria atau sumberdaya alam. Namun Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan revisi KUHP juga memiliki klausul tentang masyarakat adat. Di mata UU Sisdiknas masyarakat adat adalah golongan masyarakat yang berhak memperoleh pendidikan khusus (pasal 5 ayat 3). Sementara revisi UU KUHP mengakui ketentuan hukum adat sebagai hal yang bisa menyimpangi asas legalitas serta memasukan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah jenis pidana tambahan.

Pengaturan yang lebih luas dan dalam dilakukan oleh sejumlah UU dan RUU di bidang sumberdaya agraria dan sumberdaya alam. Sejak tahun 1998, pengaturan mengenai masyarakat adat bisa ditemui dalam sejumlah UU, yakni UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (pasal 93 beserta penjelasannya), UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (pasal 6) dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (pasal 67). Jejak ketiga UU tersebut sedang diikuti oleh sejumlah RUU yang sampai saat ini sedang dalam proses penyusunan dan pembahasan. Sebut saja misalnya RUU tentang Perkebunan, RUU tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, RUU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RUU tentang Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Genetika, revisi UU tentang Pertambangan dan RUU tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam (RUU PSDA). Beberapa waktu lalu pengaturan masyarakat adat dalam RUU PSDA menjadi polemik ketika Menteri Negera Lingkungan Hidup menilai RUU tersebut terlalu memberikan keleluasaan yang besar kepada masyarakat adat.

Rasanya tidak berlebihan bila muncul sejumlah pertanyaan mengusik. Pertama, apa yang melatari gelombang rame-rame mengakui masyarakat adat tersebut? Adakah ia hanya merupakan gejala normatif biasa atau malah sebuah gejala politik atau gejala sosial? Apakah pengaturan demikian lahir hanya karena UUD 1945 hasil amandemen dan Ketetapan MPR sudah mengatur mengenai masyarakat adat? Kedua, bagaimana karakter atau gaya pengakuan yang ditampilkan oleh sejumlah UU dan RUU tersebut? Adakah pengakuan itu meralat kasalahan masa lalu ataukah hanya meneruskan tradisi pengakuan gaya lama?

Terra Nullius, Dekolonisasi dan Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia istilah `masyarakat adat' diartikan sebagai terjemahan dari kata `indigenous peoples'. Banyak orang membedakannya dengan istilah masyarakat hukum adat yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda yakni rechtgemencshap.. Kalangan aktivis Ornop dan organisasi masyarakat adat semacam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memandang istilah `masyarakat hukum adat' pada akhirnya hanya akan mempersempit entitas masyarakat adat sebatas entitas hukum. Sementara istilah masyarakat adat dipercaya memiliki dimensi yang luas dari sekedar hukum. Misalnya dimensi kultural dan religi. Jadi, istilah masyarakat adat dan istilah masyarakat hukum adat memiliki sejarah dan pemaknaan yang berbeda. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik-akademis. Istilah tersebut digunakan untuk memberi identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi hukum sendiri untuk membedakannya dengan golongan Eropa dan Timur Jauh yang memiliki sistem dan tradisi hukum tertulis.

Sedangkan istilah masyarakat adat mengemuka ketika pada awal dekade 90-an berlahiran sejumlah Ornop yang memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Tidak bisa disangkal gerakan yang memperjuangkan isu ini berinsipirasi dari gerakan pembelaan terhadap indigenous peoples di Amerika Latin pada dekade 70-an dan Asia Selatan pada dekade 80-an. Di Indonesia istilah indigenous peoples tidak diterjemahkan menjadi `masyarakat asli', melainkan menjadi masyarakat adat. Penggunaan istilah masyarakat asli tentu saja akan melahirkan polemik yang tajam bahkan mungkin tak berkesudahan. Sedangkan penggunaan istilah masyarakat adat, dari segi pemakaian, dianggap lebih populer. Kendati istilah indigenous peoples diterjemahkan dengan istilah masyarakat adat, namun defenisi masyarakat adat sangat mirip dengan defenisi umum mengenai indigenous peoples. AMAN mendefenisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri. Sedangkan konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States) mengartikan IPs sebagai suku-suku bangsa yang berdiam di negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain. Atau suku-suku bangsa yang telah mendiami sebuah negara sejak masa kolonisasi yang memiliki kelembagaan ekonomi, budaya dan politik sendiri. Sementara Jose Martinez Cobo, yang bekerja sebagai pelapor khusus untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, pada tahun 1981, dalam laporannya yang berjudul Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat, mendefenisikan IPs sebagai kelompok masyarakat atau suku bangsa yang memiliki kelanjutan hubungan sejarah antara masa sebelum invasi dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka, menganggap diri mereka berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Jadi, membincangkan konsep atau gerakan masyarakat adat sebenarnya mirip dengan konsep dan gerakan indigenous peoples (IPs) di Amerika Latin atau di belahan Asia Selatan. Di kedua tempat ini gerakan ini awalnya dilarutkan ke dalam gerakan dekolonisasi. Gerakan memperjuangkan IPs adalah gerakan yang di satu sisi menggugat hak bangsa-bangsa Eropa untuk menaklukan bangsa-bangsa pribumi di benua Amerika dan Asia dan di sisi lain merumuskan argumen-argumen yang menjelaskan bahwa bangsa-bangsa pribumi itu adalah pemilik sah atas wilayah yang didiami dan dikelolanya. Argumen-argumen dasar yang membela hak IPs sebenarnya telah dirintis sejak abd XIV ketika Bartolome de las Casas dan Francisco de Vitoria mengkritik tindakan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Spanyol. De las Casas adalah seoran misionaris Katolik Romawi yang bekerja di wilayah orang-orang Indian. Sedangkan De Vitoria adalah guru besar teologi di Universitas Salamanca. Kedua orang tersebut mempertanyakan legalitas dan moralitas penaklukan bangsa Spanyol atas bangsa-bangsa pribumi di Amerika Selatan. Keduanya membantah doktrin terra nullius sebagai argumen yang membenarkan tindakan penaklukan. Doktrin terra nullius mengatakan bahwa wilayah-wilayah yang disinggahi oleh mereka adalah tanah tak bertuan (terra nullius). Manusia-manusia yang mereka jumpai pada wilayah tersebut dianggap bukan manusia karena belum memiliki peradaban. Dengan argumen tersebut, bangsa penakluk menganggap dirinya memiliki misi untuk memperadabkan bangsa-bangsa pribumi (Hunter, dkk: 1995; Anaya: 1996). Doktrin inilah yang dibantah oleh De las Casas dan De Vitoria dengan mengatakan bahwa IPs memiliki otonomi asli (original autonomous powers) dan hak-hak atas tanah (entitlements to land). Dalam bukunya History of the Indies, De las Casas bahkan memaparkan brutalitas yang dilakukan bangsa Spanyol terhadap suku-suku Indian dengan melakukan pembunuhan massal dan menjadikan mereka sebagai budak.

Dengan demikian perjuangan membela IPs adalah perjuangan meruntuhkan bangun argumen tindakan kolonisasi/penaklukan sekaligus bermaksud untuk menghapuskan kolonisasi. Perjuangan membela IPs bukanlah perjuangan mendapatkan pengakuan dalam rejim pemerintahan kolonial karena kritik awal perjuangan ini justru mempertanyakan pembenaran tindakan kolonisasi. Dalam suasana ini perjuangan untuk mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination) sering ditafsirkan sebagai perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan. Hak untuk menetukan nasib sendiri jenis ini sering juga disebut dengan external self-determination.

Pasca dekolonisasi, konsep dan tuntutan gerakan IPs kemudian bergeser. Ia tidak lagi perjuangan untuk mendorong dekolonisasi tapi telah bergeser menjadi perjuangan untuk medapatkan hak-hak berdemokrasi (right to democracy) sebagai kelompok masyarakat yang hidup dalam sebuah negara bangsa. Begitu juga dengan hak menentukan nasib sendiri telah berubah dari right to self-determination (external self-determination) menjadi right of self-determination. Aktor yang dihadapi bukan lagi regim kolonial tapi rejim otoritarian yang masih mewariskan asumsi dan doktrin di masa kolonialisme.

Perbincangan yang mengarah ke pengakuan IPs semakin maju ketika ia masuk dalam wacana hukum HAM internasional. Derajat humanitas IPs diperbaiki dalam khasanah hukum HAM internasional ketika ia diakui sebagai kategori masyarakat minoritas yang sering menjadi korban tindakan pelanggaran HAM. IPs diakui sebagai sebuah entitas yang harus diakui dan dilindungi. Untuk itu, rejim hukum HAM internasional mengakui beberapa hak asasi IPs. Misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas pembangunan (right to development), hak atas milik, hak hidup, hak atas kesehatan, dan sejumlah hak yang dikenal dalam Konvensi ILO 169 tahun 1989. Pengakuan atas sejumlah hak tersebut sekaligus meralat pandangan kolot yang menuduh IPs sebagai masyarakat tidak beradab (uncivilized society). Jika pada awalnya Konvensi ILO 107 tahun 1957 masih mengasumsikan bahwa IPs akan berkembang menjadi masyarakat modern (integrasi) namun kemudian diralat oleh Konvensi ILO 169 dengan mengatakan bahwa IPs memiliki hak untuk hidup sesuai dengan sistem hukum dan politik yang mereka miliki.

Kendati demikian, progresivitas instrumen hukum HAM internasional banyak disandungi oleh konservatisme negara, terutama negara-negara dunia ketiga. Perjuangan menjadikan isu IPs menjadu agenda pembahasan di PBB dan perjuangan mendirikan sebuah forum permanen di PBB, bukanlah pekerjaan gampang. Bila proses dekolonisasi telah dimulai sejak dekade 40-an maka forum permanen pembahasan IPs baru terbentuk tahun 1982 dengan dilahirkannya Working Groups on Indigenous Populations, yang berada di bawah Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas. Penggunaan kata populations terjadi karena istilah peoples belum diterima oleh mayoritas anggota PBB. Tugas kelompok kerja ini untuk melahirkan Rancangan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak IPs (Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples), sampai saat ini belum kunjung selesai. Salah satu penyebabnya adalah kuatnya resistensi negara-negara dunia ketiga terhadap beberapa hak yang dianggap membahayakan. Misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri. Pencanangan tahun 1993 sebagai tahun IPs dan tahun 1994-2004 sebagai dekade IPs tetap saja tidak berhasil mempercepat penyelesaian rancangan draf deklarasi tersebut padahal tenggat waktu yang diberikan hanya sampai tahun 2004.

Pelanggaran terhadap hak-hak dasar IPs terus saja berlangsung di masa-masa itu kendati di saat bersamaan sejumlah negara terus mengupayakan pemajuan pengakuan terhadap masyarakat adat lewat jalur legislasi dan peradilan. Sejumlah negara di Amerika Latin seperti Venezuela, Mexico, Argentina dan Brazil, mulai memasukan IPs dalam konstitusinya. Beberapa negara mulai menuangkannya ke dalam UU tersendiri seperti Indigenous Peoples Rights Act di Philipina pada tahun 1997 dan Native Title Act di Australia pada tahun 1993. Di samping itu pengakuan lewat UU juga dilakukan kepada kelompok IPs tertentu. Misalnya pengakuan oleh Pemerintah Panama terhadap suku bangsa Kuna pada tahun 1970. Sejumlah pengadilan di beberapa negara juga sudah mulai mengeluarkan putusan yang memenangkan gugatan masyarakat adat atas tindakan pencaplokan oleh pemerintah kolonial dan pemerintah bangsa merdeka sekaligus membantah kesahihan doktrin terra nullius. Di Australia putusan Mahkamah Agung terhadap kasus Kepulauan Murray kepunyaan Orang Aborigin, menjadi tonggak hukum bagi penganuliran doktrin terra bullius selain diundangkannya Native Title Act. Di tingkat internasional, institusi peradilan juga memainkan peran penting, seperti yang dilakukan oleh International Court of Justice pada tahun 1989 yang menghukum pemerintah Australia untuk membayar denda sebesar $A 107 juta atas tindakanya menambang pospat di wilayah Nauru sebelum orang-orang Nauru memperoleh kemerdekaan. Hukuman tersebut didasarkan pada argumen bahwa bangsa Nauru memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Lalu bagaimana dengan situasi di Indonesia pasca dekolonisasi?

Gaya Pengakuan Bersyarat
Setelah menjadi negara merdeka pada tahun 1945, Indonesia berusaha merumuskan pengakuan hukum (baca: perundang-undangan) terhadap masyarakat adat. Sebuah terobosan brilian dilakukan oleh UUD 1945 versi sebelum amandemen. Kendati ketika itu wacana HAM di tingkat internasional belum mendiskusikan isu IPs, UUD 1945 telah membuat pengakuan terhadap masyarakat adat dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunan asli (zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan negeri. Sesuatu yang tidak dilakukan oleh UUD RIS dan UUDS.

Tonggak kedua pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dirumuskan lima belas tahun kemudian saat Undang-Undang No. 5/1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria diundangkan. UUPA mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat dilakukan sepanjang menurut kenyataanya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, UUPA memperkenalkan konsep pengakuan bersyarat, yang kemudian diikuti secara baku oleh peraturan perundangan sesudahnya.

Tonggak atau gelombang pengakuan hukum yang ketiga berlangsung di masa-masa awal Orde Baru ketika diproduksi sejumlah Undang-Undang sektoral seperti UU No. 5/1967 tentang Kehutanan dan UU No. 11/1966 tentang Pertambangan. Kedua UU ini memiliki klausul pengakuan terhadap masyarakat adat namun sepanjang masih ada. UU No. 5/1967 mengaku hak-hak masyarakat adat sepanjang dalam kenyataanya masih ada dan tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan UU tersebut. Gaya ini terus berkembang di masa pemerintahan Orde Baru dan telah menjadi standar pengakuan normatif pada semua instrumen kebijakan. Bila dibuat dalam sebuah rangkuman, perundangan produk Orde Baru mengakui masyarakat adat hanya jika: (1) dalam kenyataanya masih ada: (2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi; dan (4) ditetapkan dengan peraturan daerah. Model pengakuan yang demikian, selain memperkenalkan pengakuan bersyarat juga memperkenalkan pengakuan berlapis. Pendeknya, pengakuan bersyarat yang berlapis. Selain harus memenuhi syarat-syarat sosiologis, politis dan normatif-yuridis namun juga harus memenuhi syarat prosedural (ditetapkan dengan perda). Gaya itulah yang membuat pengakuan hukum tersebut sebenarnya bukan bermaksud memberikan kebebasan dasar pada masyarakat adat melainkan menentukan batasan-batasan.

Gaya itulah yang bisa menjelaskan mengapa pengaturan mengenai pengakuan masyarakat adat atau hak ulayat, di masa pemerintah Orde Baru, tidak pernah operasional. Alih-alih mengkonkritkan rumusan pengakuan tersebut, pemerintah Orde Baru malah merampas tanah-tanah masyarakat adat. 70% kawasan daratan Indonesia dinyatakan sebagai kawasan hutan dengan asumsi tidak ada atau tidak boleh satu kelompok masyarakat adatpun yang berdiam dan berladang di kawasan tersebut bila tidak mendapat izin dari pemerintah. Tiba-tiba masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan tersebut dikualifikasi sebagai perambah hanya dengan cara menerbitkan SK Menteri mengenai penetapan kawasan. Penetapan tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa kawasan itu adalah hutan yang kosong (empty forest) atau paling tidak harus dianggap kosong. Bila didapati sekelompok masyarakat adat berdiam atau berladang di kawasan tersebut maka mereka harus diusir atau dipindahkan ke luar kawasan hutan. Itulah yang dialami oleh Orang Moronene di Sulawesi Tenggara yang dipaksa pindah dari kawasan Taman Nasional Rawa Opa. Begitu juga perlakuan terhadap Orang Katu dan Lindu yang tinggal di dalam Taman Nasional Lore Lindu (Sulteng). Orang Mentawai yang tinggal di kawasan Taman Nasional Mentawai serta Orang Rimba yang berdiam di dalam Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Jambi&Riau). Departemen Sosial memaksa mereka untuk pindah lewat proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Pendeknya, di bahwa pemerintahan Ode Baru, sekitar 80 juta jiwa masyarakat adat mendapat perlakuan kekerasan dan diskriminasi yang sistematis dan meluas.

Lalu bagaimana pengakuan terhadap masyarakat adat pasca bubarnya rejim Orde Baru? Setelah menunggu 55 tahun, pada tahun 2000 dilakukan amandemen yang kedua terhadap UUD 1945 yang menghasilkan klausul baru yang mengatur mengenai masyarakat adat. Dikatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Gaya pengaturan dan pengakuan yang serupa juga dilakukan oleh Tap. MPR/1998 tentang HAM dan UU No. 39/1999 tentang HAM. Itu juga yang ditirukan oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Inilah gelombang keempat pengakuan hukum terhadap masyarakat adat sesudah Indonesia menjadi bangsa merdeka. Gaya yang membuat UUD 1945 hasil amandemen dalam sisi tertentu membuat kemunduran dibanding sebelum amandemen.

Pengakuan bersyarat yang berlapis ini kemudian rame-rame ditirukan oleh berbagai RUU yang sekarang lagi disusun dan dibahas. Tengoklah RUU Perkebunan dan RUU Pengelolaan Sumberdaya Air. Keduanya mengakui masyarakat adat dan hak ulayatnya sepanjang menurut kenyataanya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional serta dikukuhkan lewat peraturan daerah. Jadi, bila dibuat rangkuman maka pengakuan hukum pasca pemerintah Orde Baru terhadap masyarakat adat dan hak-haknya dilakukan sepanjang: (1) dalam kenyataanya masih ada; (2) selaras dengan perkembangan zaman; (3) sesuai dengan kepentingan nasional; dan (4) dikukuhkan dengan peraturan daerah. Kendati UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam mencoba merumuskan pengakuan tanpa syarat, namun gaya pengakuan terhadap masyarakat adat sesudah tahun 1998 tidak memiliki perbedaan mendasar dengan gaya pengakuan Orde Baru.

Bagi kita, gaya ini memunculkan sikap sinisme terhadap gelombang rame-rame mengakui masyarakat adat. Gelombang itu agaknya tidak sedang mengusung dan mengungkapkan sebuah kesadaran baru. Ia bisa kita maknai dengan dua cara, yakni: pertama, mewariskan ideologi tua yang melabeli masyarakat adat sebagai masyarakat tak beradab yang harus difasilitasi untuk menjadi masyarakat beradab. Dengan asumsi ini, masyarakat adat bukanlah subyek yang memiliki kemampaun budaya untuk mengurus alam. Sebuah ideologi yang sebenarnya sudah hidup dalam konsep domeinverklaring yang dilekatkan dalam Agrarische Wet tahun 1870 dan diwariskan oleh rejim Orde Baru. Kedua, ia tidak lebih dari tindakan picisan yang hanya dilatari oleh semangat ikut trend.

Sebenarnya gaya yang tetap dianut oleh Indonesia tersebut masih merupakan cerminan dari arus utama pandangan dunia terhadap masyarakat adat hingga kini. Gaya yang menyimpan sikap kehati-hatian sekaligus kekawatiran. Kawatir bila pengakuan terhadap masyarakat adat akan menggerus kedaulatan negara atau akan mengancam keutuhan bangsa karena keinginan untuk memisahkan diri. Itu sebabnya jauh-jauh Konvensi ILO 169 sudah mengatakan bahwa penggunaan terma bangsa (peoples) dalam konvensi tersebut tidak berimplikasi pada hak untuk menentukan nasib sendiri. Kekawatiran itu pula yang mendasari mengapa Indonesia memasang syarat berlapis dalam mengakui masyarakat adat. Politik pengakuan bergaya seperti itu membuat perjuangan membela hak-hak masyarakat adat selalu kental dengan tuntutan untuk mendapatkan pengakuan tanpa syarat, yang dalam konsep terkini disebut dengan pengukuhan.

*) Penulis adalah Koordinator Program Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jakarta.

Soal jawab tentang Kedudukan Hak Ulayat

Pertanyaan :

Bagaimana kedudukan Hak Ulayat masyarakat adat dalam kaitannya pada sumber-sumber hukum UUPA, hukum adat dan bagaimana penyelesaian yang terbaik jika terjadi perselisihan antara masyarakat adat dengan adanya Areal Hak Pengusahaan Hutan yang diberikan pemerintah disekitar tanah atau desa masyarakat adat tersebut, baik dari segi pemanfaat tanah tersebut maupun pembagian hasil dari pemanfaatan tanah tersebut, guna menunjang peningkatan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat adat disekitar HPH tersebut, dapat mepertahankan kelangsungan dari Pengusaha HPH yang dengan kata lain dapat meningkatkan pemasukan devisa bagi Negara, sekian terima kasih.

Jawaban :

Persekutuan dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan yang erat, hubungan yang bersifat religio-magis. Hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memamfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.

Kedudukan hak ulayat ini, berlaku keluar dan kedalam. Berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar atau memberikan ganti kerugian, orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan.

Berlaku kedalam, karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud untuk memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup diatasnya.

Antara hak ulayat dan hak warga masing-masing ada hubungan timbal balik. Jika seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon-pohon diatas tanah itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu (pasal 20 UUPA). Hak milik ini harus menghormati :

1. hak ulayat desanya;
2. kepentingan-kepentingan yang memiliki tanah;
3. peraturan-peraturan adat.

Bila kemudian tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi oleh yang berkepentingan maka tanah itu dipengatuhi lagi oleh hak ulayat.

Jika terjadi perselisihan, Kepala adat akan mengambil beberapa tindakan untuk memulihkan perselisihan tersebut, umpamanya:

1) mengganti kerugian pada orang yang dirugikan/ pada masyarakat adat
2) membayar uang adat kepada persekutuan hukum yang bersangkutan.

Kamis, April 24, 2008

Sejarah Kabupaten Tapanuli Tengah


Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pelaksanaan urusan Pemerintahan di daerah antara lain di Tapanuli Tengah tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 24 Agustus 1945 Residen Tapanuli, saat itu menghunjuk Z.A. Glr Sutan Komala Pontas Pemimpin Distrik Sibolga selanjutnya sebagai Demang dan menjadi penanggung jawab pelaksana roda pemerintahan di Tapanuli Tengah. Pada saat itu Dr. Ferdinand Lumbantobing eks Wakil Residen Tapanuli menjadi Residen Tapanuli berkedudukan di Tarutung. Pada tanggal 15 Oktober 1945 oleh Gubernur Sumatera Mr. T. Mohd. Hasan menyerahkan urusan pembentukan daerah Otonom setingkat di wilayahnya pada pemerintahan daerah kepada masing-masing Residen.

Gubernur Tapanuli Sumatera Timur dengan Keputusan Nomor 1 Tahun 1946 mengangkat dan mengukuhkan Z.A. Glr Sutan Komala Pontas sebagai Bupati/Kepala Luhak Tapanuli Tengah. Sesuai Keputusan Gubernur Sumatera Timur tanggal 17 Mei 1946 Kota Sibolga dijadikan sebagai Kota Administratif yang dipimpin oleh seorang Walikota dan pada saat itu dirangkap oleh Bupati Kabupaten Sibolga (Tapanuli Tengah) yaitu Z.A. Glr Sutan Komala Pontas. Luas wilayah Kota Administratif Sibolga ditetapkan dengan Ketetapan Residen Tapanuli Nomor 999 Tahun 1946.

Pada tahun 1946 di Tapanuli Tengah mulai dibentuk Kecamatan untuk menggantikan sistem Pemerintahan Onder Distrik Afdeling pada masa Pemerintahan Belanda. Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai Daerah Otonom dipertegas oleh Pemerintah dengan Undang-undang Nomor 7 Drt 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 19 Tahun 2007 maka ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Tapanuli Tengah adalah tanggal 24 Agustus 1945.

Dalam perjalanan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah telah silih berganti Kepala Daerah mulai dari Z.A. Glr Sutan Komala Pontas (1945 – 1946), Prof. Mr. M. Hazairin (1946 – 1946), A. M. Djalaluddin (1946 – 1947), Mangaraja Sori Muda (1947 – 1952), Ibnu Sa’adan (1952 – 1954), Raja Djundjungan (1954 – 1958), Matseh Glr. Kasayangan (1958 – 1959), M. Samin Pakpahan (1959 – 1965), S.S. Paruhum Stn. Singengu (1965 – 1967), Ridwan Hutagalung (1967 – 1975), Bangun Siregar (1975 – 1980), Lundu panjaitan, SH (1980 – 1985), H. Abd. Wahab Dalimunthe, SH (1985 – 1990), Drs. Amrun Daulay (1990 – 1995), Drs. Panusunan Pasaribu (1995 – 2001), Drs. Tuani Lumbantobing (2001 – 2006), Drs. Rudolf Pardede, sebagai Penjabat (2006), Drs. Tuani Lumbantobing (2006 – Sekarang).

Rabu, April 23, 2008

Karpet Ajaib (Masalah Psikologi)


Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik.

Rumah tampak selalu rapih, bersih & teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya.Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu : “Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan” Ibu itu kemudian menutup matanya.

“Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?” Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan; “Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi”. Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
“Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu”. Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb. “Sekarang bukalah mata ibu” Ibu itu membuka matanya “Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?” Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Aku tahu maksud anda” ujar sang ibu, “Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif”.

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita ‘membingkai ulang’ sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Selasa, April 22, 2008

Kapur dari Barus & Hamzah dari Fansur...

KAPUR barus seakan tidak bisa dipisahkan dari kota kecil di pantai barat Pulau Sumatera yang menjadi tempat asalnya, yaitu Barus yang memiliki nama lain Fansur.

Sedangkan Hamzah al Fansuri adalah sosok ulama sufi dari Barus yang namanya menggegerkan dunia Islam lewat syair-syair sufistiknya. Kapur dari Barus dan Hamzah dari Fansur adalah dua kisah dari zaman yang berbeda yang telah mengangkat nama kota ini dalam peta dunia.

Nama tempat Fansur atau Barus yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum.

Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.

Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Avicena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, yaitu Al Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi.

Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia. Nilai jual kapur barus pun kian mendunia.

Namun, produksi kapur barus yang merupakan komoditas perdagangan saudagar dari berbagai penjuru dunia itu kini tak lagi bisa ditemui di Barus. Pembuatan kapur barus seakan tak pernah dikenal di kota tersebut.

Kayu kamfer yang menjadi sumber kapur barus juga sulit lagi ditemui. Pembukaan hutan untuk transmigran Jawa di Manduamas dan alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, dinilai sebagai penyebab hilangnya kayu kamfer tersebut. "Tak ada lagi masyarakat Barus yang tahu tentang cara pengolahan kayu kamfer menjadi kapur barus. Bahkan, wujud pohon kamfer pun kini sulit ditemukan di sini, sepertinya pohon itu telah lama musnah. Sejarah kota ini telah terputus," ungkap Tajuddin Batubara, tokoh masyarakat Barus.

JEJAK Hamzah al Fansuri atau Hamzah dari Fansur yang hidup pada abad ke-16 hingga ke-17, juga hampir sama samarnya dengan kisah tentang kapur barus. Dari keberlangsungan ajarannya, sulit untuk meyakinkan orang, pemikir sufistik itu berasal dari Fansur karena jejak-jejak ajarannya tak bisa lagi ditemui di kota ini. Bukti tentang kaitan antara Hamzah dan Fansur hanya bisa ditemukan lewat syair-syair sufistiknya yang sarat makna.

Menurut sastrawan Abdul Hadi MW, Hamzah Fansuri merupakan pencipta "syair Melayu" yang bercirikan puisi empat baris dengan pola sajak akhir "a-a-a-a". Bakatnya sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual dari Al Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.

Peranan penting Hamzah al Fansuri dalam sejarah pemikiran dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.

Salah satu karya penting dari Hamzah Fansuri adalah Zinat Al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit tentang paham wahdat al-wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu.

Hamzah Fansuri juga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaru melalui karya-karya Rubba al Muhakkikina, Syair Perahu, dan Syair Dagang. Kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan, dan orang-orang kaya, menempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya.

MEMANG, sampai kini belum ada kesepakatan di antara para ahli apakah Hamzah menamakan dirinya Fansuri karena dia lahir di Barus, atau karena dia pernah hidup dan bekerja di tempat itu. Tetapi, yang jelas dia kenal pelabuhan itu dan menghabiskan sebagian hidupnya di situ.

Nama Barus juga muncul beberapa kali dalam karya-karyanya. "Hamzah ini asalnya Fansuri, Mendapat wujud di tanah Shahrnawi, Beroleh khilafat ilmu yang ’ali, Daripada ’Abd al-Qadir Jilani...," demikian salah satu syairnya.

Kedekatan penyair sufi ini dengan lingkungan Barus, dengan lautnya, penghidupan, dan budaya masyarakatnya, juga bisa dilihat dari syairnya yang lain, "Hamzah di negeri Melayu, Tempatnya kapur di dalam kayu...".Tetapi, kisah Barus sebagai penghasil kapur barus memang telah pupus. Sebagaimana dituliskan oleh Hamzah Fansuri dalam syairnya, pelajaran tentang "mati" seharusnya memberi pelajaran tentang hidup.

Obat Tradisionil untuk Penyakit Kanker

Penyakit Kanker Sudah Tidak Berbahaya Lagi, dan Kanker tidak lagi mematikan.

Para penderita kanker di Indonesia dapat memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman "KELADI TIKUS" (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lain.Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. "Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa," kata Drs. Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia .

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof. Dr. Chris K.H.Teo, Dip Agric (M), BSc Agric (Hons)(M), MS, PhD dari Universiti Sains Malaysia dan juga pendiri Cancer Care Penang, Malaysia.

Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.
"Sebelum menjalani kemoterapi, dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan, "jelas Patoppoi.

Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, dia terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker. "Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut," ujar Patoppoi yang juga ahli biologi. Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.

"Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia, "kenang Patoppoi sambil tersenyum. Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana . Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu. Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. "Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat," lanjut Patoppoi.

Akhirnya, dengan tekad bulat dan do'a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat. Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. "Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai," kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu. Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. "Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal," lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. "Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta, "kata Patoppoi. Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. "Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami," lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.

"Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif," sambung Boni sambil tertawa. Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasikan bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia.

Kemudian Dr. Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh," sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesiadan disebar-luaskan di Indonesia, Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang. Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut. Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut.

"Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos," ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. "Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini," lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo. Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos. Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif. Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung.

Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang , Malaysia . Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia . Ternyata saat Patoppoi mendapat buku "Cancer, Yet They Live" edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya.

Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia, yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta, telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo. Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. "Dosis yang diperlukan tergantung penyakit yang diderita," kata Boni.

Untuk mendapatkan obat tersebut, penderita harus mengisi formulir yang menanyakan keadaan dan gejala penderita dan akan dikirimkan melalui fax ke Dr. Teo. "Formulir tersebut dapat diisi disini, dan akan kami fax-kan. Kemudian Dr. Teo sendiri yang akan mengirimkan resep sekaligus obatnya, dengan harga langsung dari Malaysia, sekitar 40-60 Ringgit Malaysia," lanjut Boni. "Jadi pasien hanya membayar biaya fax dan obat, kami tidak menarik keuntungan, malahan untuk yang kurang mampu, Dr.Teo bisa memberikan perpanjangan waktu pembayaran." tambahnya.

Sebenarnya pengobatan ini juga didukung dan sedang dicoba oleh salah satu dokter senior di Surabaya, pada pasiennya yang mengidap kanker ginjal. Ada dua pasien yang sedang dirawat dokter yang pernah menjabat sebagai direktur salah satu rumah sakit terbesar di Surabayaini. Pasien pertama yang mengidap kanker rahim tidak sempat diberi pengobatan dengan keladi tikus, karena telah ditangani oleh rekan-rekan dokter yang telah memiliki reputasi. Setelah menjalani kemoterapi dan radiologi, pasien tersebut mengalami kerontokan rambut, kulit rusak dan gatal, dan selalu muntah.

Tetapi pada pasien kedua yang mengidap kanker ginjal, dokter ini menanganinya sendiri dan juga memberikan pil keladi tikus untuk membantu proses penyembuhan kemoterapi. Pada pasien kedua ini, tidak ditemui berbagai efek yang dialami penderita pertama, bahkan pasien tersebut kelihatan normal. Tetapi dokter ini menolak untuk diekspos karena menurutnya, pengobatan ini belum resmi diteliti di Indonesia. Menurutnya, jika rekan-rekannya mengetahui bahwa dia memakai pengobatan alternatif, mereka akan memberikan predikat sebagai "ter-kun" atau dokter-dukun. "Disinilah gap yang terbuka antara pengobatan konvensional dan modern," kata dokter tersebut.

Banyak hal menarik yang dialami Boni selama menerima dan memberikan bantuan kepada berbagai pasien. Bahkan ada pecandu berat putaw dan sabu-sabu di Surabaya, yang pada akhirnya pecandu tersebut mendapat kanker paru-paru. Setelah mendapat vonis kanker paru-paru stadium III, pasien tersebut mengkonsumsi pil dan teh dari Cancer Care. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ternyata obat tersebut dapat mengeluarkan racun narkoba dari peredaran darah penderita dan mengatasi ketergantungan pada narkoba tersebut. "Tapi, jika pecandu sudah bisa menetralisir racun dengan keladi tikus, dia tidak boleh memakai narkoba lagi, karena pasti akan timbul resistensi. Jadi jangan seperti kebo, habis mandi berkubang lagi," sambung Boni sambil tertawa. Juga ada pengalaman pasien yang meraung-raung kesakitan akibat serangan kanker yang menggerogotinya, karena obat penawar rasa sakit sudah tidak mempan lagi. Setelah diberi minum sari keladi tikus, beberapa saat kemudian pasien tersebut tenang dan tidak lagi merasa kesakitan.

Menurut data Cancer Care Malaysia, berbagai penyakit yang telah disembuhkan adalah berbagai kanker dan penyakit berat seperti kanker payudara, paru-paru, usus besar-rectum, liver, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas, dan hepatitis.

Jadi diharapkan agar hasil penelitian yang menghabiskan milyaran Ringgit Malaysia selama 5 tahun dapat benar-benar berguna bagi dunia kesehatan. Bagi teman-teman yang memerlukan informasi lebih lanjut sehubungan dengan artikel "Obat Kanker" bisa menghubungi perwakilan lembaga sosial "Cancer Care Indonesia" beralamat di Jl. Kayu Putih 4 no.5 Jakarta , telp : 021-4894745,